Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Reformasi Saudi dan Kemungkinan Normalisasi dengan Israel

TEL AVIV, KOMPAS.com - Seorang jurnalis Israel, Yoav Limor, tidak mempunyai ekspektasi tertentu ketika melancong ke Arab Saudi, sebuah negara yang telah lama terkenal mempromosikan sentimen anti-Israel dalam buku teks dan khotbah oleh beberapa imam.

Dia dan rekannya merasakan "kejutan yang menyenangkan", tulisnya di surat kabar Israel, Hayom. Pedagang pasar di Saudi dan pengemudi taksi kebanyakan menyambut mereka dengan rasa penasaran, bukan dalam artian meremehkan.

"Beberapa tersenyum dan menggelengkan kepala karena tidak percaya atau khawatir. Yang lain penasaran dan memulai percakapan," tulis Limor, seraya menambahkan bahwa tidak ada yang membuat kami merasa tidak diinginkan.

Perjalanan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ke Timur Tengah, yang dimulai pada Rabu (13/7/2022), telah memicu spekulasi kemungkinan terobosan dalam normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi.

Namun, Kerajaan Arab Saudi telah berulang kali menyatakan, akan tetap berpegang pada posisi Liga Arab untuk tidak menjalin hubungan resmi dengan Israel sampai konflik dengan Palestina diselesaikan.

Pengalaman Limor, yang memenuhi syarat untuk mendapatkan visa turis karena ia memegang paspor non-Israel, mengisyaratkan perubahan dalam opini publik Arab Saudi, bahwa para pejabat berharap suatu hari nanti dapat meletakkan dasar bagi hubungan bilateral formal.

"Selama beberapa dekade, Kerajaan Arab Saudi adalah pengekspor kebencian Yahudi yang besar," kata Deborah Lipstadt, utusan khusus Washington untuk memerangi anti-semitisme, dalam sebuah pidato setelah mengunjungi Arab Saudi pada Juni.

"Namun, apa yang saya temukan adalah sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang telah berubah secara dramatis di sana dalam beberapa tahun terakhir," tambahnya.

"Ada sedikit kemungkinan Riyadh mengalihkan fokusnya ke hubungan dengan Israel , sambil mengabaikan masalah Palestina," kata Mohammed Alyahya, seorang akademisi di Belfer Center di Universitas Harvard.

"Sentimen publik telah berubah, tetapi saya tidak berpikir itu berubah sedemikian rupa sehingga orang tidak lagi peduli dengan Palestina atau orang tidak meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatan yang dilakukannya," kata Alyahya.

Namun, pandangan berbeda datang dari warga Saudi.

"Tidak mungkin bagi saya untuk pergi ke Israel suatu hari nanti. Saya tidak menyukai mereka," kata Abo Rashed, seorang penjual suku cadang mobil di Riyadh. Dia juga menyebut orang Israel sebagai penjajah.

Putra Raja Saudi Salman bin Abdulaziz, Mohammed bin Salman (MBS), telah mengguncang reputasi monarki, setelah kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, dan maraknya kecaman internasional.

Namun, kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Arab Saudi pada pekan ini tampaknya akan mengembalikan posisinya di panggung internasional, dan memaksa para pemimpin dunia untuk berurusan dengannya.

Pangeran MBS, dikenal karena ambisinya yang sangat besar, mulai dari membangun megacity futuristik yang dikenal sebagai NEOM hingga mengobarkan perang tujuh tahun di negara tetangga, Yaman.

Pria yang beken dengan sebutan MBS itu diketahui menyukai makanan cepat saji dan video gim Call of Duty. Dia juga sangat kaya, memiliki kapal pesiar senilai 500 juta dollar AS hingga puri istana di Perancis.

Tidak seperti pangeran Saudi lainnya yang berbicara dengan aksen Inggris dan bergaya dengan setelan jas, dan gelar Oxford, MBS menganut akar Badui negara itu, yang terbiasa mengenakan jubah tradisional dan sandal.

Di bawah pemerintahannya, polisi agama kerajaan tidak lagi memiliki wewenang. Bioskop kembali dibuka, turis asing bebas masuk, terselenggaranya festival film, opera, Grand Prix Formula 1, tinju kelas berat, hingga gulat profesional,

Namun, dia juga telah memenjarakan para kritikus dan melakukan upaya pembersihan elit bangsa dengan menahan dan mengancam sekitar 200 pangeran dan pengusaha di hotel Ritz-Carlton Riyadh dalam tindakan keras anti-korupsi 2017.

"MBS adalah karakter yang sangat memecah belah, dipuji oleh para pendukung sebagai pengubah permainan yang telah lama ditunggu-tunggu," tulis Ben Hubbard dalam MBS: The Rise to Power of Muhammad bin Salman.

"Dia bertekad untuk memberi Saudi masa depan yang cerah, makmur, dan menunjukkan kemauan yang teguh untuk menghancurkan musuh-musuhnya," tambahnya.

Pangeran MBS telah berjanji untuk membentuk Arab Saudi yang moderat dan menarik investor internasional untuk visi 2030 yang luas untuk mendiversifikasi ekonomi yang bergantung pada minyak.

"Kami ingin menjalani kehidupan normal,” katanya kepada para pemimpin bisnis di Riyadh. "Yang kami lakukan adalah kembali ke diri kami sebelumnya, Islam moderat yang terbuka untuk semua agama dan terbuka untuk dunia."

"70 persen penduduk Saudi berusia di bawah 30 tahun dan sejujurnya, kami tidak akan menghabiskan 30 tahun ke depan hidup kami berurusan dengan ide-ide ekstremis. Kami akan menghancurkan mereka hari ini," ungkap MBS.

Inisiatif MBS yang paling ambisius adalah proyek NEOM senilai 500 miliar dollar AS di pantai Laut Merah, yang ditenagai oleh energi surya dan dikelola oleh robot, yang digambarkan sang pangeran sebagai lompatan peradaban bagi kemanusiaan.

Mencerminkan harapan penduduk muda negara itu, Pangeran MBS telah melonggarkan pembatasan hak-hak perempuan, memungkinkan mereka untuk mengemudi mobil, menghadiri acara olahraga dan konser bersama laki-laki, dan mendapatkan paspor tanpa harus meminta persetujuan wali laki-laki.

Seiring dengan reformasi yang dijalankan MBS, muncul tindakan keras terhadap para pembangkang, termasuk intelektual dan aktivis hak-hak perempuan, bagian dari strategi nyata untuk membasmi jejak oposisi sebelum transfer kekuasaan resmi dari Raja Salman.

Pergeseran ini mungkin merupakan pengakuan bahwa Pangeran MBS, yang masih berusia 30-an, dapat memerintah Arab Saudi selama setengah abad atau lebih.

https://www.kompas.com/global/read/2022/07/15/170100170/reformasi-saudi-dan-kemungkinan-normalisasi-dengan-israel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke