PORT-AU-PRINCE, KOMPAS.com - Setiap orang yang selamt dari gempa Haiti 7,2 magnitudo, sekarang khawatir korban tewas makin bertambah, karena bantuan kebutuhan pokok tak kunjung datang.
Gempa 7,2 magnitudo pada 14 Agustus di kota Les Cayes telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan banyak bangunan ambruk, mungkin satu dari 6 bangunan sudah ambruk.
Kota itu sudah tidak dapat dikenali. Perjalanan menuju kota itu dilanda tanah longsor, retakan besar di jalan-jalan, sulit menemukan rumah yang berdiri utuh.
Salah satu desa yang sangat mengalami kehancuran parah adalah desa Marceline, yang ditandai dengan tanah longsor, dan retakan besar di jalan. Pengemudi terkadang memperlambat mobil hingga berhenti, sehingga dia dapat mengatasi retakan.
Kelly Phildor, seorang anak 15 tahun yang mempersiapkan sekolah ajaran baru, adalah salah satu dari banyaknya korban tewas karena gempa itu.
Ia yang masih muda dan suka usil, memiliki nama julukan Kelly Forever, yang tertulis di kaosnya.
"Saya tidak percaya hidupnya pendek," kata ibunya Marie Rose, seperti yang dilansir dari BBC pada Kamis (19/8/2021).
Kelly bangun pagi-pagi, dan meninggalkan rumahnya pada Sabtu pagi waktu setempat (14/8/2021). Tetapi, handphone-nya perlu diisi daya, jadi dia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Tak disangka sesaat setelah itu terjadi gempa. Tembok rumahnya yang terbuat dari bongkahan semen berat dan batu ambruk menimpanya.
Gempa itu mematahkan kedua kaki dan tengkoraknya. Dia tidak punya kesempatan.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Bajunya saya lingkarkan di pinggang saya untuk memberi saya kekuatan," kata Marie Rose.
Tingkat kehancuran di sana disebut sangat parah hingga sulit diterima. Kedua gereja lenyap.
Di pusat komunitas voodoo, orang-orang bersiap-siap untuk menari di kapel. Mereka sedang menunggu pendeta untuk memulai proses ketika gempa terjadi.
Bangunan itu runtuh dengan sendirinya.
Seorang tetangga memberi tahu kami bahwa mereka berhasil mengeluarkan tubuh pendeta, tetapi mungkin ada lebih dari 25 orang yang masih berada di bawah reruntuhan gereja.
Namun, dampak dahsyatya gempa yang menghancurkan kota semua orang adalah mengapa tidak ada bantuan,- tidak ada obat-obatan, tidak ada tim SAR, tidak ada makanan dan air, tidak ada apa-apa.
Seorang warga bernama Margaret Maurice bersama 8 anaknya berhasil selamat dari rumah mereka yang runtuh, hanya dengan luka ringan.
Namun, mereka sekarang berjuang sendiri, berjongkok di puing-puing bekas rumah mereka.
"Apakah saya harus berteriak untuk mendapatkan perhatian pemerintah atau kita dibiarkan mati?" ucapnya.
Dia bilang dia hanya punya sedikit makanan dan air, dan beberapa truk bantuan yang dia lihat telah melewati mereka.
Pemerintah, badan-badan bantuan dan masyarakat internasional semuanya telah menjanjikan bantuan.
Namun, janji-janji itu tidak berarti apa-apa bagi orang-orang di sini.
Di pusat medis pun juga tidak ada bantuan lebih yang bisa diterima,
tempat di mana orang mungkin bisa mendapatkan persediaan - juga diratakan.
Di sini, di pegunungan, cuaca bisa menjadi dingin dan basah di malam hari. Beberapa orang memiliki terpal tipis, dan beberapa bahkan tidak memilikinya.
Kadang-kadang ada goncangan pendek, gempa susulan, yang menambah stres.
Orang-orang di sini tidak memikirkan masa depan jangka panjang mereka, mereka fokus untuk bertahan hidup.
Namun, dengan semua infrastruktur desa yang benar-benar hancur, sulit untuk melihat bagaimana desa Marciline itu akan pulih.
https://www.kompas.com/global/read/2021/08/20/132027670/warga-yang-selamat-dari-gempa-haiti-khawatir-jadi-korban-tewas