Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dubes RI Hajriyanto: Krisis Mengubah Budaya Politik di Lebanon

BEIRUT, KOMPAS.com - Menurut Duta Besar LBBP RI H. Hajriyanto Y. Thohari M.A, di Beirut dalam Kuliah Umum Dinamika Bahasa, Sastra dan Geo-Budaya Arab Kontemporer di Lebanon, semua krisis yang dialami Lebanon telah mengubah kebudayaan politik mereka.

Menjawab pertanyaan jurnalis Kompas.com pada kuliah umum yang digelar virtual, Senin (28/9/2020) Dubes Hajriyanto mengatakan bahwa intinya, ledakan masif di Beirut adalah puncak dari segala krisis yang terjadi.

"Lebanon sedang tidak punya Kabinet yang definitif dan ledakan (masif) terjadi dalam suasana itu," Ungkap Dubes Hajriyanto dalam acara yang digelar Prodi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta tersebut.

"Akibat krisis ekonomi, pandemi Covid-19, dan ledakan itu, telah mengubah (Lebanon) dalam banyak hal. Salah satunya (dalam) budaya politik."

Dubes Hajriyanto menjelaskan bahwa dalam kebudayaan politik, kepercayaan (rakyat) pada pemerintah Lebanon menurun.

Budaya politik Arab Klasik nyaris sudah tidak tampak lagi, terlebih negara yang paling responsif adalah Barat, Perancis.

"Negara-negara Arab kaya membantu secara finansial yang terbatas, kemanusiaan, tapi yang mengawal reformasi pasca ledakan adalah Perancis. Presiden (Emanuel) Macron itu... seperti menjadi pemimpin yang mereformasi Lebanon. Dia menjalankan konferensi bagaimana me-recovery Lebanon, bagaimana dia mensyaratkan bantuan jika Lebanon melakukan reformasi politik dan ekonomi (dan) memang Lebanon punya hubungan khusus dengan perancis..." terang Dubes Hajriyanto.

Menurut Dubes kelahiran Karanganyar ini, Macron begitu dielu-elukan oleh rakyat Lebanon terutama di Beirut.

"Secara interpretatif, dalam aliran antropologi kebudayaan, aliran interpretatif adalah aliran yang melihat perubahan-perubahan kebudayaan dari aspek perilaku yang ditunjukkan dalam mengekspresikan pandangan. Tampak perubahan kebudayaan yang serius di Lebanon pasca ledakan itu," ujar Dubes Hajriyanto.

Dia juga menerangkan bahwa dampak perekonomian juga telah mengawali kehancuran Lebanon sampai hari ini.

"Beberapa stasitun TV, majalah yang (berkualitas) bagus kini gulung tikar akibat krisis ekonomi. Beberapa media online juga mengalami gangguan bahkan banyak yang gulung tikar. Penerbitan juga banyak terkena dampak," imbuhnya.

Kini, dalam waktu kurang dari setahun, Lebanon telah dilanda krisis ekonomi, protes massa, keterpurukan finansial dan wabah virus corona.

Semua itu seakan masih "kurang" sampai ledakan masif terjadi di pelabuhan Beirut pada Selasa 4 Agustus 2020 lalu.

Semuanya tampak menakutkan. Meski banyak warganya terus berharap akan perbaikan dari segala aspek di negara itu, namun agaknya, hari-hari yang lebih gelap masih akan terus berdatangan.

Melansir Associated Press (AP), cadangan devisa negara itu mengering, mata uang lokal diperkirakan akan semakin turun.

Warga Lebanon yang separuhnya berada dalam kemiskinan, akan segera menghadapi lompatan lagi dalam harga bahan makanan pokok. Termasuk, meningkatnya insiden bentrokan bersenjata antara kelompok yang bersaing.

Politisi yang berselisih tidak dapat membentuk pemerintahan, menempatkan dana talangan internasional di luar jangkauan.

Pekan lalu, inisiatif Perancis untuk membentuk pemerintah penyelamat khusus berantakan ketika faksi politik terpecah di sepanjang garis patahan yang sudah dikenal, isu sektarian, diperdalam oleh persaingan AS-Iran.

Kerusakan politik dan ekonomi yang menyatu dapat menyebabkan pergolakan sosial yang hebat.

“Tanpa perubahan besar dalam kalkulasi politik kedua belah pihak, beberapa minggu mendatang akan menghadapi kebuntuan yang berkelanjutan, pemerintahan sementara yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan reformasi serius, dan percepatan keruntuhan ekonomi,” kata Mike Azar, mantan profesor keuangan di Johns Hopkins SAIS dikutip AP.

Rencana Presiden Perancis Emmanuel Macron secara luas dipandang sebagai kesempatan terakhir untuk mencarikan jalan keluar dari krisis terparah Lebanon sejak perang saudara 1975-1990.

Hal ini termasuk jangka waktu enam bulan bagi pemerintah kecil yang terdiri dari para ahli non-partisan untuk melaksanakan reformasi.

Karena tidak percaya pada para pemimpin terkenal Lebanon yang korup, Barat telah menghasilkan miliaran dollar bantuan yang bergantung pada reformasi tersebut.

Politisi Lebanon awalnya berkomitmen pada rencana tersebut dan menunjuk perdana menteri baru, Mustapha Adib, yang berjanji untuk membentuk Kabinet dalam waktu dua minggu.

Untuk menghindari "tawar-menawar politik" di antara faksi-faksi di kementerian, Adib mencoba memilih sendiri nama-nama untuk membentuk pemerintahan.

Tetapi dua partai utama Syiah, Hezbollah dan Amal, menuduhnya bertindak atas nama saingan politik lokal mereka.

Mereka bersikeras menunjuk anggota Syiah di Kabinet dan mempertahankan Kementerian Keuangan untuk sekte mereka. Adib menolak klaim itu dan mengundurkan diri pada Sabtu pekan lalu (26/9/2020).

Sementara itu, pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah meningkatkan kampanye tekanan maksimumnya terhadap Iran dan milisi proksi, termasuk Hezbollah, jelang pemilihan umum presiden AS pada 3 November mendatang, meningkatkan tegangan antara AS-Iran.

 

https://www.kompas.com/global/read/2020/10/01/154214670/dubes-ri-hajriyanto-krisis-mengubah-budaya-politik-di-lebanon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke