KOMPAS.com – Genjer adalah salah satu jenis sayuran yang biasa tumbuh di pinggir persawahan.
Genjer punya rasa yang pahit dan tekstur yang lembut, kenyal, dan sedikit renyah. Biasanya genjer diolah menjadi sayuran pendamping makan nasi seperti ditumis atau direbus biasa untuk jadi lalap.
Sayuran satu ini ternyata punya sejarah cukup panjang. Sayur genjer yang memiliki nama latin Limnocharis flava sejak dulu telah menjadi sayur primadona ‘wong cilik’ khususnya di zaman penjajahan Jepang.
Baca juga: Sejarah Sate Kere, Bukti Kreativitas Orang Solo pada Masa Penjajahan
Pakar kuliner Fadly Rahman mengatakan, sayur genjer sejak dulu dikonsumsi oleh rakyat di pedesaan Jawa dan Sumatera untuk menu makan sehari-hari.
“Pada masa-masa sulit sekitar tahun 1930-an pernah dianggap sebagai menu penyelamat ketika krisis pangan,” kata Fadly pada Kompas.com, Sabtu (28/9/2019).
“Genjer jadi lalapan orang Sunda, biasa lalap yang direbus atau ditumis lalu dinikmati dengan nasi, ikan air tawar atau ikan asin lalu dicocol dengan sambal,” lanjutnya.
Sayur genjer terkenal dengan rasa pahitnya yang khas. Namun rasa pahit itu tak menghalangi sayur genjer untuk tetap jadi makanan idola di kalangan ‘wong cilik’ zaman penjajahan.
Heri Priyatmoko, sejarawan yang juga akademisi Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengatakan bahwa sayur genjer telah lama menjadi makanan keseharian masyarakat akar rumput (masyarakat kelas bawah).
“Wong cilik terbiasa mengolah bahan yang ada di sekitarnya, termasuk genjer atau paku rawan. Sayuran ini cukup akrab dalam ekologi persawahan,” kata Heri pada Kompas.com, Sabtu (28/9/2019).
Kala itu, petani desa yang mengandalkan persawahan atau hidup di alam agraris terbiasa memanfaatkan tumbuhan yang dipetik di lingkungan sekitarnya tanpa harus belanja.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.