Tentu kalau diturunkan lebih jauh dan dalam, fenomena GKK sangat jauh dari kesan inklusifitas dan fleksibilitas seperti slogan besar kurikulum merdeka.
Para GKK seperti mendapat karpet merah dan ruang eksklusif dalam dunia pendidikan khususnya keguruan hanya perkara mereka membuat konten.
Menyambung persoalan di atas, belum jelasnya definisi dan model produksi konten yang masuk dalam kategori GKK akan menambah panjang persoalan.
Kalau kita cermati satu-persatu akun medsos GKK, produksi konten mereka lebih mirip gado-gado, corak dan konsistensinya tidak berkait.
Akun media sosial GKK menampilkan variasi konten beragam, termasuk curhatan keguruan, video aktivitas di sekolah, self-branding, dan pengadaptasian konten viral. Bahkan dalam banyak kasus, poin mengikuti trend dan viralitas lebih umum dijumpai.
Lebih membingungkannya lagi, akhir dari geliat konten para GKK mengarah pada endorse, iklan, paid promote, dan afiliasi. Padahal jelas-jelas dalam setiap unggahan GKK, bahan bakar kontennya adalah murid, ruang kelas, dan atribut sekolah lainnya.
Kalau sudah pada tahap seperti ini, sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa para GKK akhirnya masuk dalam belenggu kapitalisme digital. Murid menjadi bintang iklan gratis. Sekolah dan ruang kelas jadi studio kontennya. Semua itu mengerucut pada popularitas beserta keuntungan sepihak GKK.
Mudah sekali terbaca bahwa hadirnya fenomena GKK dapat dukungan dari Kemdikbud. Karena mungkin Kemdikbud sadar bahwa upaya marketing di era abad informasi adalah pendayagunaan identitas.
GKK dapat menjadi identitas yang dibrandingkan sebagai upaya implementasi percontohan guru abad informasi sesuai semangat merdeka belajar.
Dalam dunia evolusi marketing, marketing 4.0 merupakan upaya marketing yang berfokus pada branding identitas.
Dengan menjadi GKK, seorang guru akan menjadi pihak yang secara tidak langsung masuk dalam pengkategorian identitas guru transformatif.
Guru bukan lagi melihat keefektifan pembelajaran pada siswa, melainkan lebih ingin masuk memakai identitas yang dibranding pemerintah.
Sekalipun tampilan kontennya berbagai pembelajaran, perlu untuk ditanya, maksud baik tersebut untuk siapa dan apa? Bagaimana di balik kemegahan itu semua?
Tidak hanya itu, pola marketing 4.0 ini juga dapat dilihat pada kaos, pernak-pernik, atribut busana, sekaligus wacana merdeka belajar yang diglorifikasikan.
Hampir semua GKK kalau diperhatikan selalu menggunakan atribut identitas dengan embel-embel merdeka belajar. Bahkan mereka juga kadang mirip publik siar Kemdikbud (influencer atau key opinion leader).
Meminjam Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama?” Mereka dapat saja mengatakan bahwa itu hanya nama dan atribut biasa.
Agaknya GKK dan Kemdikbud lupa, dalam jagat informasi digital nama bukan lagi sebuah nama, melainkan sudah menjadi identitas yang dapat diperankan sebagai kuasa wacana sekaligus komoditas.
Itulah mengapa dalam kritik paling keras, strategi marketing 4.0 tidak lebih dari sebuah bisnis karakter.
Pengguna bukan lagi peduli dengan apa yang digunakannya, melainkan lebih berorientasi pada identitas siapa yang melekat di sana.