SEJAK diluncurkan pada November 2022, popularitas ChatGPT membuat akademisi terbelah dua.
Sebagian adalah early adopters. Mereka mempelajarinya lalu percaya bahwa ChatGPT memberi kontribusi signifikan terhadap kemajuan ilmu.
Sebagian lainnya yakin bahwa ChatGPT mengandung konflik etis yang mendehumanisasi pengguna dan membuat kualitas pendidikan terjun bebas.
Perbedaan pendapat ini wajar. Di tengah serunya kelangsungan adu argumentasi, Elsevier dan Cambridge University Press, keduanya adalah penerbit terkemuka, mengeluarkan izin bagi para peneliti untuk menggunakan aplikasi seperti ChatGPT saat menulis.
Teknologi tak bisa dilawan. UNESCO sudah mengeluarkan kebijakan. Tak usah menunggu pemerintah mengeluarkan regulasi karena kelebihan dan kelemahan ChatGPT berbeda-beda di tiap sektor.
Tugas pemerintah adalah mengembalikan pendidik kepada fitrahnya: mendidik dan meneliti termasuk mencermati pro-kontra ChatGPT, mengajak guru serta dosen di institusinya masing-masing untuk berdiskusi dan mengejawantahkan kebijakan sampai ke tahap praktik pengajaran di kelas. Ini tugas mulia yang tak bisa dilakukan maksimal karena belenggu tugas administrasi.
Institusi pendidikan perlu bersikap proaktif dengan cara menyusun kebijakan yang solutif terkait penggunaan ChatGPT dan AI sejenis lainnya (selanjutnya akan digabung penggunaannya dalam istilah ‘ChatGPT’).
Membiarkan pendidik bertindak sendiri-sendiri akan membuat peserta didik kebingungan dan berpotensi menimbulkan konflik lainnya.
Diskusi mengenai kebijakan ini sebaiknya, minimal saat fase pengumpulan data, melibatkan beberapa anak didik serta pendidik yang berstatus techie atau early adopters.
Institusi yang terbiasa dengan top-down policy pasti gelagapan namun melibatkan early adopters dari pihak pendidik dan anak didik akan memperkaya perspektif para administrator. Kebijakan ini sebaiknya kelak dijadikan bagian dari silabus.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.