KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang salah satu poinnya mencakup adanya kemerdekaan bagi setiap perguruan tinggi untuk menentukan tugas mahasiswa sesuai dengan standar kompetensi lulusan.
Nadiem mengatakan, bila program studi atau prodi sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek, maka skripsi bisa jadi bukan lagi satu-satunya bentuk tugas akhir mahasiswa.
Baca juga: Cerita Taufik, Kerjakan Skripsi 3 Bulan 20 Hari, Lulus IPK 3,96
"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa berbentuk prototipe. Bisa berbentuk proyek. Bisa berbentuk lainnya. Tidak hanya skripsi atau disertasi. Bukan berarti tidak bisa tesis atau disertasi, tetapi keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi," kata Nadiem, dilansir dari Youtube Kemendikbud pada Selasa (29/8/2023).
Kebijakan ini, dikatakan Nadiem, hadir untuk mendorong perguruan tinggi agar lebih bisa adaptif. Sehingga seluruh prodi bisa leluasa mengembangkan potensi mahasiswanya sesuai dengan standar kompetensi lulusan.
Karena itu, ia meminta setiap kepala prodi punya kemerdekaan atau keleluasaan untuk menentukan cara mereka mengukur standar capaian kelulusan mahasiswa.
Ia menuturkan, pada aturan sebelumnya, kompetensi sikap dan pengetahuan dijabarkan terpisah dan secara rinci. Karena itulah, mahasiswa sarjana dan sarjana terapan wajib membuat skripsi.
Baca juga: Beasiswa S2-S3 Gates Cambridge 2024 Segera Dibuka, Tunjangan Rp 389 Juta
Tak hanya itu, pada kebijakan sebelumnya, mahasiswa magister pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi, sementara doktor wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.
Sehingga, hadirnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 diharapkan dapat menjadi payung hukum atas kemerdekaan prodi dan kampus untuk menentukan cara mengukur standar capaian kelulusan mahasiswa. Sehingga, kebijakan jenis tugas akhir bisa berbeda-beda antar kampus, bahkan antar prodi.
"Di dunia sekarang, ada berbagai macam cara untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi lulusan kita. Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini sudah mengetahui bahwa ini mulai aneh, kebijakan ini, legacy (sebelumnya) ini. Karena ada berbagai macam program, prodi, yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya dengan cara lain," imbuhnya.
Nadiem mencontohkan kompetensi seseorang di bidang vokasi atau yang berbasis teknikal akan sulit bila diukur dengan penulisan karya ilmiah.
"Tentu tidak bisa kita ukur kemampuan technical dia melalui penulisan saintifik," tambahnya.
Termasuk prodi akademik, bila kemampuan mahasiswa adalah konservasi lingkungan, apakah yang akan diuji itu kemampuan mereka menulis atau skripsi secara ilmiah.
"Atau yang mau kita tes adalah kemampuan dia mengimplementasi project di lapangan? Ini harusnya bukan Kemendikbudristek yang menentukan, tetapi Kaprodi (Kepala Program Studi)," katanya.
Baca juga: Beasiswa Bantuan Dana hingga Rp 1 Juta bagi Pelajar SMP-SMA, D3-S1
Dalam penjelasannya, Mendikbud Nadiem memberikan beberapa contoh perubahan baru dan aturan lama terkait standar kompetensi lulusan mulai jenjang S1 hingga S3. Berikut rinciannya:
Aturan lama
Aturan baru
Nadiem menegaskan bahwa jenis tugas akhir yang bisa dipilih mahasiswa maupun syarat kelulusan diserahkan kepada Kaprodi di perguruan tinggi.
Sehingga, apakah skripsi bisa diganti bentuk lainnya seperti prototipe, proyek, maupun bentuk sejenis lainnya, tergantung masing-masing prodi dan kampus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.