Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Beban Guru Makin Berat Dalam Pendidikan Digital

Kompas.com - 21/08/2023, 14:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENDIDIKAN digital lebih santer terdengar sebagai pembelajaran pada ruang baru, saat teknologi informasi berbaur dengan eksistensi citra. Corak paling khas dalam kehadiran ruang tersebut adalah multidimensi percakapan antarsubjek-subjek.

Bila percakapan konvensional bersifat resipokral teks dengan teks, ruang digital mengharuskan percakapan berlangsung dengan keberagaman unsur (audio, visual, algoritma, viralitas, hingga ideologi). Bahasa bergerak jauh lebih kompleks, bukan lagi pada tubuh verbal dan nonverbal semata.

Gambar seorang tokoh dengan quotes di sampingnya sekarang dapat diartikan bahwa benar sosok tersebut yang mengucapkannya. Padahal, bisa saja antara gambar dan teks tidak pernah terhubung. Itu yang dirasakan Najwa Shihab beberapa waktu lalu, pada unggahan Threads-nya.

Najwa mengatakan, “Banyak banget quote-quote kehidupan yang bertebaran pakai fotoku. Dari soal dunia kerja sampai soal pernikahan. Plis jangan gampang percaya. Aku gak semotivator itu.”

Ada tantangan interaksi komunikasi yang dapat kita simak pada kasus tersebut. Percakapan kita hari ini begitu dipenuhi dengan rekayasa makna dan identitas.

Atas dasar tersebut, karakter kritis menjadi lebih penting ketimbang apapun. Nalar kritis dapat menjadi instrumen terdepan penyaringan informasi. Dapat saya katakan, nalar kritis harus menjadi kebutuhan, bukan lagi sarana dan alat.

Apa yang dikatakan Najwa hanya salah satu contoh kasus yang pasti kita jumpai tiap detik dari ketakterhinggaan persoalan serupa. Di sinilah peran pendidikan digital dengan karakter kritis sebenarnya perlu diletakkan sebagai bekal hidup.

Sekarang literasi telah masuk pada generasi kelima, yakni multiliterasi. Yunus Abidin, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia dalam bukunya Pembelajaran Multiliterasi, menyatakan multiliterasi sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan inovasi, simbol, dan multimedia (2015; 51).

Menilik hal tersebut, guru sebagai pelaku utama sekaligus penggerak pendidikan menjadi subjek yang akan paling terbebani.

Bebannya bukan lagi pendidikan dan pengajaran materi text by text. Melainkan semakin meluas ke arah multimedia dan multidimensi.

Terlebih lagi bila beban tantangan digital ini sepenuhnya dilimpahkan begitu saja pada unit sekolah dan guru. Apakah guru Indonesia mampu?

Tidak bermaksud pesimistis atau merendahkan guru Indonesia, namun sangat sulit mengatakan keadaan guru Indonesia baik-baik saja, apalagi cukup.

Hal tersebut dapat dilihat bersama pada persoalan tubuh guru itu sendiri yang masih begitu pelik. Kesejahteraan, status sosial, hingga hierarki fungsi begitu kental membelenggu guru.

Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK memaparkan, guru menjadi profesi paling banyak terjerat pinjol ilegal. Bahkan angka presentasenya mencapai 42 persen.

Dari paparan tersebut tidak ada profesi dokter, akuntan, pilot, jaksa, arsitek, dan sejenisnya. Justru guru diperingkatkan dengan korban PHK, ibu rumah tangga, karyawan, pedagang, pelajar, tukang pangkas rambut, dan pengemudi online.

Di mana sebenarnya kedudukan marwah profesi guru? Apakah selama ini guru hanya indah sebagai seragam?

Beberapa waktu lalu, Zaharman (58), guru SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu, kehilangan salah satu matanya lantaran diketapel wali murid, karena menegur si anak merokok.

Kasus lainnya, seorang guru bunuh diri melompat dari Flyover di Ciputat. Belum jelas apa motif bunuh dirinya. Namun dalam banyak kasus bunuh diri, kebanyakan berlatar belakang ekonomi dan kejiwaan.

Cukup sulit dipungkiri, hingga hari ini tangan kanan seorang guru telah dibelenggu oleh sekolah. Tangan kirinya juga diikat oleh persoalan sosial dan budaya.

Lalu, kepala dari seorang guru juga selalu dipaksa mendongak ke aturan-aturan negara. Sementara di bawah, kaki seorang guru senantiasa dihantui oleh kemiskinan dan kebutuhan hidup.

Apakah mungkin beban besar seperti pendidikan digital (multiliterasi) bisa diamanatkan sekaligus dilimpahkan begitu saja pada tubuh profesi yang rapuh seperti guru Indonesia?

Percakapan digital dan nalar kritis

Video amatir di TikTok memperlihatkan seorang guru sedang menjalankan pembelajaran kontekstual. Si guru mengajak beberapa muridnya untuk mengamati langsung kandang kambing.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com