Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Dilema Hukum Pembebasan Jabatan Profesor

Kompas.com - 18/08/2023, 10:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sanksi relevan yang bisa dikenakan, jika dosen PNS adalah “penurunan pangkat dan jabatan akademik”, atau jika dosen non-PNS/ikatan dinas adalah “sesuai dengan dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama (pasal 78 UU No. 14/2005).

Jika klausul ini yang digunakan, maka yang bersangkutan dikenakan penurunan pangkat/jabatan menjadi lektor kepala hingga asisten ahli, sesuai dengan jenis dan bobot pelanggaran yang dilakukan.

Hanya saja, UU tidak mengatur secara spesifik berapa tingkat penurunan pangkat/jabatan dilakukan, sesuai dengan jenis dan jenjang pelanggaran yang dilakukan.

Sayangnya, UU No. 14/2005 tidak mengatur pemberhentian dari jabatan dosen menjadi tenaga kependidikan (jabatan pelaksana) pun tidak diatur di dalam UU/PP terkait dosen.

UU juga sama sekali tidak mengatur pemberhentian dosen dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai dosen (dalam jabatan akademik apapun) karena ketidaktaatan/ketidakpatuhan terhadap salah satu kewajiban dalam melaksanakan tugas-tugas keprofesionalannya.

Pemberhentian jabatan dosen hanya dimungkinkan karena meninggal dunia, mencapai batas pensiun, atas permintaan sendiri, melanggar sumpah dan janji jabatan sebagai dosen (bukan ASN), melanggar atau berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama, melalaikan atau tidak melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani [pasal 78 ayat (1) dan (2)].

Jika pun pemberhentian dilakukan, UU tetap harus diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri; dan jika yang bersangkutan adalah dosen non-PNS tetap memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama [Pasal 68 ayat (1)].

Dengan demikian, ada “kekosongan hukum” dalam pengaturan secara spesifik terkait dengan pemberian sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh dosen (ASN atau non-ASN).

Mungkin karena alasan “kekosongan hukum” inilah kemudian Mendikbudristek menerapkan peraturan kepegawaian secara umum terkait “Pelanggaran Disiplin”, dengan segala dilema dan polemik yang mengiringinya.

Saat ini, dilema dan polemik yang sama juga sedang dihadapi oleh pemegang jabatan dosen yang dianggap sama dengan pemegang jabatan fungsional lainnya, seperti dalam Permenpan-RB No. 1/2023 dengan alasan penyederhanaan hukum.

Tanpa mempertimbangkan kekhasan atau keunikan 293 jabatan fungsional yang direformasi dalam satu peraturan.

Permenpan-RB No. 1/2023 telah menjelma sebagai omnibus law yang mengatur semua jabatan fungsional di lingkungan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada instansi pemerintah.

Publik tentu mafhum bahwa dosen diatur secara lex spesialis di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sekalipun dosen di dalamnya juga terdapat unsur ASN.

Dilema dan polemik hukum seperti inilah yang perlu dicarikan solusi strategis, sehingga tidak ada satupun dosen yang dirugikan.

Berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, bisa diterima oleh akal dan logika hukum jika pembebasan jabatan akademik profesor dikenakan kepada mereka yang terbukti telah terindikasi melakukan praktik plagiasi dalam publikasi ilmiah, baik saat mengusulkan kenaikan jabatan ke profesor dan/atau ketika yang bersangkutan menyelesaikan studi pada jenjang doktor (S3).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com