Marketplace yang diacu kemendikbud adalah suatu data base yang didukung teknologi. Sekolah bisa mengakses siapa saja yang bisa menjadi guru dan siapa saja yang mau diundang menjadi guru di sekolah mereka.
Tidak ada yang salah dengan konsep marketplace yang ditawarkan. Sekolah dimudahkan dalam merekrut guru. Semua kompetensi yang dikuasai guru ada di sana. Mereka tinggal scroll masing-masing profil guru, bila tidak tertarik, tinggal swip.
Di sinilah permasalahannya muncul. Penggunaan nama “marketplace guru” memberikan metafora bahwa guru disandingkan dengan komoditas, yakni barang dagangan utama; benda niaga; bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan.
Bila kita suka, masukkan ke trolley, bila tak suka, abaikan, barangkali ada pihak lain yang menginginkannya.
Bagaimana jika tidak ada yang melirik? Akankah guru mengendap di marketplace tersebut menunggu masa “kedaluwarsa”? Miris bukan?
Guru itu mulia, tidak sepatutnya disandingkan dengan sebuah produk yang diberi label agar “bernilai”. Guru tak ternilai harganya. Guru tidak diproduksi untuk “dipajang”. Mereka pendidik, digugu dan ditiru.
Tak dipungkiri banyak orang bisa lolos seleksi untuk menjadi guru hanya karena mampu melewati uji “hardskills”, namun tidak semua memiliki “softskills” seorang guru.
Banyak profesi berhasil dididik guru, namun tidak semua profesi bisa menghargai guru.
Terlalu sulitkah memberikan nama yang mulia bagi platform mereka?