Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Naming

Lantas, apakah benar nama itu tidak berarti? Adakah orangtua, lebih-lebih seorang ibu, mau menamai anaknya dengan “Jahanam”, “Syetan”, atau “Iblis”?

Saya pikir, tidak seorang pun di dunia ini mau dinamai seperti itu. Dengan demikian, mulai saat ini, nama itu berarti, ya!

Kembali kepada nama. Dalam linguistik, setiap nomina (kata benda) diberikan nama (lambang) sesuai dengan konsep yang dimilikinya.

Kuda dinamai /k,u,d,a/ karena memiliki konsep ‘binatang menyusui, berkuku satu, biasa dipiara orang sebagai kendaraan (tunggangan, angkutan) atau penarik kendaraan dan sebagainya’.

Binatang lain yang biasanya dikendarai adalah unta. Meskipun sama-sama memiliki konsep ‘tunggangan, angkutan’, orang-orang tidak menamainya dengan /kuda/ karena dia tidak memiliki spesifikasi ‘berkuku satu’.

Unta memiliki kekhasan kuku belah, leher panjang, dan berpunuk. Punuk hanya dimiliki unta. Leher panjang dimiliki Jerapah, tapi binatang ini tidak dinamai /unta/ karena tidak memiliki punuk dan tidak dijadikan tunggangan.

Sesederhana itukah penamaan terhadap nomina?

Satu hal penting, hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan (nomina) bersifat arbitrer (manasuka), alias tidak wajib sesuatu benda dinamai A, B, atau C.

Semua tergantung konvensi/kesepakatan masyarakat penuturnya. Di Indonesia, ketiga binatang tersebut disepakati bernama kuda, unta, dan jerapah.

Di belahan bumi lain, ada ya menamai dengan horse, camel, giraffe. Ada pula yang menami dengan alhisan, aljamal, alzarafa. Hal terpenting, mereka dinamai sesuai dengan konsep dan konvensi masyarakatnya.

Dikembalikan pada nama seorang anak, nama tersebut sudah disepakati kedua orangtuanya. Bahkan jauh hari sebelum mereka dilahirkan.

Banyak ritual dan prosesi yang ditempuh hanya untuk mendapatkan sebait nama. Banyak doa yang diselipkan sebagai pengharapan.

Lalu, mengapa untuk profesi mulia seperti guru kita berikan nama "marketplace" sebagai platform bagi mereka? Sudahkah ditimbang dan direnung-renungkan? Ibarat memanggang ikan, dibolak-balik kedua sisinya agar matang merata.

Menurut Cambridge Dictionary, marketplace bermakna tempat di mana produk atau layanan tertentu dibeli atau dijual, atau kondisi untuk jual-beli.

Marketplace yang diacu kemendikbud adalah suatu data base yang didukung teknologi. Sekolah bisa mengakses siapa saja yang bisa menjadi guru dan siapa saja yang mau diundang menjadi guru di sekolah mereka.

Tidak ada yang salah dengan konsep marketplace yang ditawarkan. Sekolah dimudahkan dalam merekrut guru. Semua kompetensi yang dikuasai guru ada di sana. Mereka tinggal scroll masing-masing profil guru, bila tidak tertarik, tinggal swip.

Di sinilah permasalahannya muncul. Penggunaan nama “marketplace guru” memberikan metafora bahwa guru disandingkan dengan komoditas, yakni barang dagangan utama; benda niaga; bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan.

Bila kita suka, masukkan ke trolley, bila tak suka, abaikan, barangkali ada pihak lain yang menginginkannya.

Bagaimana jika tidak ada yang melirik? Akankah guru mengendap di marketplace tersebut menunggu masa “kedaluwarsa”? Miris bukan?

Guru itu mulia, tidak sepatutnya disandingkan dengan sebuah produk yang diberi label agar “bernilai”. Guru tak ternilai harganya. Guru tidak diproduksi untuk “dipajang”. Mereka pendidik, digugu dan ditiru.

Tak dipungkiri banyak orang bisa lolos seleksi untuk menjadi guru hanya karena mampu melewati uji “hardskills”, namun tidak semua memiliki “softskills” seorang guru.

Banyak profesi berhasil dididik guru, namun tidak semua profesi bisa menghargai guru.
Terlalu sulitkah memberikan nama yang mulia bagi platform mereka?

https://www.kompas.com/edu/read/2023/06/04/140000371/naming

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke