Oleh: Dr. Rasji, S.H., M.H.
Indonesia adalah bagian dari Bangsa Timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Aspek Ketuhanan menjadi bagian pertimbangan penting dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Aktivitas kehidupan bukan semata-mata sebagai upaya mencapai cita-cita atau tujuan, tetapi juga dimaknai sebagai ibadah kepada Tuhan YME.
Ridho dan rahmat Tuhan menjadi doa, yang senantiasa mengiringi aktivitas masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut.
Aktivitas setiap warga masyarakat Indonesia berjalan sejalan dengan pertumbuhan usianya. Ketika masih balita dan anak-anak, aktivitasnya masih berkisar pada pemenuhan kebutuhan jasmani.
Ketika mulai remaja, bahkan dewasa, aktivitasnya mulai merambah pada pemenuhan kebutuhan rohani. Rasa tertarik pada lawan jenis mulai tumbuh, yang berlanjut pada keinginannya untuk hidup bersama.
Banyak cara yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan lawan jenisnya, yang terkadang cara itu dianggap tidak sesuai dengan norma agama, norma hukum, maupun norma sosial.
Negara telah memandu cara warga masyarakat Indonesia untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya secara sah dan halal.
Panduan itu terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Melalui UU tersebut, negara melarang kehidupan bersama dengan lain jenis tanpa perkawinan. Negara hanya mengakui dan melindungi kehidupan dan hubungan bersama lawan jenis dengan perkawinan yang sah.
Perkawinan dimaksud adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hakikat perkawinan bukan sebagai hubungan perdata semata, tetapi hubungan lahir dan batin berdasarkan Ketuhanan YME.
Perkawinan juga tidak dimaknai untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi untuk membangun kebahagiaan hidup bersama dalam sebuah keluarga sejahtera selamanya.
Keluarga bahagia akan membentuk masyarakat yang bahagia. Masyarakat yang bahagia akan membentuk Bangsa Indonesia yang bahagia.
Sebagian masyarakat Indonesia telah menempuh hidup bersama lawan jenisnya dengan perkawinan yang sah.
Data statistik pada pertengahan tahun 2022 memerlihatkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 273,87 juta jiwa.
Sebanyak 133,03 juta orang berstatus menikah, 125,58 juta orang berstatus belum menikah, 11,11 juta orang berstatus cerai mati, dan 4,15 juta orang berstatus cerai hidup.
Data tersebut memperlihatkan terdapat 11,47 persen pasangan nikah yang gagal membangun rumah tangga bahagia selamanya karena berakhir dengan perceraian.
Secara hukum, perceraian adalah perbuatan yang diperbolehkan. Pada umumnya perceraian diangap sebagai masalah pribadi pasangan suami istri.
Namun apabila jumlah perceraian makin banyak, maka perceraian bukan lagi sebatas persoalan pribadi pasangan suami istri, melainkan menjadi persoalan masyarakat, bahkan menjadi persoalan Bangsa Indonesia. Data perceraian di atas sudah menjadi persoalan Bangsa Indonesia.
Pemerintah telah mengeluarkan program untuk mencegah tingginya angka perceraian, dengan harapan pasangan nikah mampu membangun kehidupannya menjadi keluarga bahagia, sakinah, mawadah, dan warohmah selamanya.
Program dimaksud adalah program kursus pranikah yang diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/542/Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pranikah.
Program ini mewajibkan pasangan calon pengantin mengikuti kursus pranikah sebelum melangsungkan perkawinanya.
Secara teknis program ini dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di setiap kecamatan.
Program ini bertujuan sangat baik, agar pasangan calon pengantin diberi bekal pemahaman tentang perkawinan, tujuan perkawinan, serta hak dan kewajiban suami dan istri.