Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Johannes Sutanto (Gendhotwukir)
Swasta

Penikmat sastra dari Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM). Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin, Jerman dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta.

Apa yang Salah dengan Liberalisasi Pendidikan di Indonesia?

Kompas.com - 23/09/2022, 14:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIR-akhir ini muncul tudingan dan kritik pedas pada sejumlah kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim yang dinilai terlalu liberal.

Sejumlah kebijakan dan program kerja Kemendikbudristek bermuara pada pusaran kontroversi dan menuai kritik pedas dari berbagai kalangan. Bahkan, akhir-akhir ini Kemendikbudristek juga dituding kurang membuka diri untuk dialog.

Beberapa program yang memunculkan pro dan kontra, mulai dari Program Organisasi Penggerak yang abai pada peran dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM), kemerdekaan memilih Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013 atau Kurikulum Darurat.

Kemudian soal seleksi dalam SBMPTN yang menghapus Tes Kemampuan Akademik (TKA) hingga yang terhangat kegaduhan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Berbicara soal liberalisasi pendidikan yang acap kali dikumandangkan dan dilancarkan para pengkritik, tentu kini perlu ditempatkan pada alur berpikir yang komprehensif-konstruktif.

Para pengkritik biasanya berkutat pada makna liberal yang serampangan. Liberal diartikan sebagai yang seliberal-liberalnya.

Padahal, liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia kini telah terjadi dan berlangsung secara adaptif tak seperti yang ditakutkan.

Pertanyaannya kini adalah apa yang harus ditakutkan dengan liberalisasi sektor pendidikan? Apa yang salah dengan liberalisasi sektor pendidikan?

Perlu dicatat baik-baik bahwa liberalisasi pendidikan di Indonesia itu sebenarnya telah dilakukan pada level menengah atas dan dimulai sejak keikutsertaan Indonesia dalam forum WTO ( World Trade Organization).

Liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia bukan lagi soal wacana, melainkan fakta riil yang sudah terjadi.

Khusus liberalisasi pendidikan tinggi Indonesia, ini telah terwujud dengan keanggotaan Indonesia di WTO sejak 1994 dan secara konkret dengan penandatanganan GATS (General Agreement on Trade in Services).

GATS lantas memperlakukan pendidikan tinggi sebagai komoditas yang diperdagangkan atau diperjualbelikan dan secara juridis Indonesia sudah mengakui konsep tersebut melalui UU No.7 tahun 1994, UU No.20 tahun 2003, peraturan pemerintah (PP) No.61 tahun 1999 dan UU No.12 tahun 2012.

Namun hingga kini, fakta di lapangan memperlihatkan kata liberal, liberalisasi dan liberalisme masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang yang notabene juga berpendidikan tinggi.

Satu hal yang seyogiyanya dicatat di sini bahwa kalau pun liberalisasi itu telah terjadi, toh Indonesia itu bangsa yang beradab. Di sinilah letak catatan kritisnya.

Kemendikbudristek tentu tidak serampangan dan gegabah dengan menelan mentah-mentah atau mengadopsi begitu saja kerangka berpikir liberalisme Barat yang menegasi nilai-nilai ketimuran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com