KOMPAS.com - Di masa pandemi Covid-19 ini, kesehatan menjadi sesuatu yang sangat penting. Tak hanya tubuh sehat, tetapi jiwa juga harus sehat.
Bahkan saat berhubungan sosial, masyarakat juga harus bisa menjaga baik hubungan sosial dengan siapa saja, termasuk para remaja.
Jangan sampai para remaja mengalami toxic relationship atau hubungan yang tidak sehat dan berdampak pada diri sendiri maupun orang lain.
Baca juga: Dukung PTM Terbatas, Stikes Santo Borromeus Gelar Vaksinasi Pelajar Se-Bandung Raya
Toxic relationship dapat memicu terganggunya kondisi kesehatan jiwa remaja. Karenanya, remaja membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang toxic relationship.
Hal inilah yang mendorong Tina Shinta dan Susanti Niman, Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan Stikes Santo Borromeus, untuk melakukan kegiatan pengabdian masyarakat.
Menurut Susanti Niman, perawat harus berperan melakukan pendidikan kesehatan jiwa pada remaja agar dapat memahami dan mencegah hubungan interpersonal yang toksik.
Selain itu, toxic relationship bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang jenis kelamin maupun usia.
"Toxic relationship bisa terjadi di keluarga, pasangan menikah maupun pacaran, antar teman, rekan kerja dan lain sebagainya," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8/2022).
Dikatakan, kini toxic relationship menjadi permasalahan yang trend karena masa remaja adalah masa mencari jati diri. Banyak tata cara komunikasi terabaikan sehingga sering melukai orang lain.
Baca juga: Ners Unair: 6 Vitamin untuk Kulit agar Sehat Berikut Jenis Makanannya
Adapun kegiatan pengabdian masyarakat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam mewujudkan hubungan interpersonal yang sehat serta mencegah hubungan interpersonal yang toksik.
Kegiatan dilakukan secara online melalui media zoom dengan peserta yang terlibat di rentang usia 14–21 tahun, beberap bulan lalu.
Peserta kegiatan adalah remaja yang berada pada rentang usia optimal dalam menerima dan mengingat pengetahuan ataupun informasi yang diterimanya.
Dahlia Sibarani, mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan Stikes Santo Borromeus yang terlibat dalam penelitian ini mengungkapkan, metode yang digunakan berupa pemberian edukasi kesehatan jiwa melalui ceramah, dan leaflet tentang toxic relationship.
Di akhir kegiatan, peserta melakukan diskusi serta tanya jawab. Peserta juga mengisi pretest dan posttest. Hasil dari kegiatan terjadi perubahan yang signifikan dari pengetahuan.
Peningkatan pengetahuan tersebut karena remaja yang menjadi peserta kegiatan dapat menjawab kuesioner yang dibagikan setelah mendapat informasi dari narasumber mengenai toxic relationship.
Baca juga: Ini Ciri dan Dampak Toxic Relationship Menurut Guru Besar UGM