KOMPAS.com - Seorang anak berusia 11 tahun yang berada di bangku Sekolah Dasar (SD) di Singaparna, Tasikmalaya, meninggal setelah mengalami bullying atau perundungan dari beberapa temannya pada pertengahan Juni 2022.
Kasus tersebut menggemparkan masyarakat karena korban mengalami kekerasan secara fisik, psikis, hingga seksual.
Baca juga: Sosok Michael Agung, Lulus Kuliah dari ITB dengan Nilai IPK 3,99
Menanggapi hal itu, Pakar Psikologi Universitas Airlangga Dr. Dewi Retno Suminar angkat suara.
Dia mengungkapkan, korban bullying tersebut mengalami trauma.
Sebab, dampak perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tentu tidak akan dilupakan.
"Apalagi bullying yang dilakukan cukup aneh dan tidak wajar," ujar dia melansir laman Unair, Senin (8/8/2022).
Dari bullying tersebut, kata Dewi, dapat berdampak pada rasa tidak percaya diri, trauma, bunuh diri, bahkan sampai celaka fisik sampai meninggal.
Apalagi kondisi korban ketika tidak ada support dari lingkungan dan hanya dipendam sendiri akan menjadi kuat negatifnya.
"Dan, tentu ketika tidak teratasi akan mengganggu fisiknya juga," jelas dia.
Menurut Dewi, faktor lingkungan terdekat sangat mempengaruhi perilaku bullying anak-anak, karena faktor dalam dirinya yang saling berinteraksi satu sama lain.
Lingkungan terdekat anak-anak (lingkungan microsistem) adalah lingkungan yang memberikan dampak langsung bagi perkembangan anak.
Baca juga: Psikolog UGM: Ini 5 Macam Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Hal itu juga dipengaruhi oleh adanya bentuk pelapisan di berbagai masyarakat, khususnya di sekolah atau lingkungan pertemanan.
Seperti tindak perundungan yang dilakukan anak pintar dengan anak yang bodoh, anak kaya dengan anak miskin, atau anak yang pemberani (mempunyai kuasa pertemanan) dengan anak yang penakut.
Selain itu, faktor keluarga, seperti perlakuan orangtua yang terlalu bangga terhadap anaknya yang sangat berpengaruh.
Dewi mengatakan, anak-anak dibolehkan untuk mengatakan tidak, asal mempunyai alasan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.