Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

HAN 2022, Dosen Unesa Sebut Kekerasan pada Anak Makin Mengkhawatirkan

Kompas.com - 24/07/2022, 10:48 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Tiap tanggal 23 Juli diperingati Hari Anak Nasional (HAN). Namun pada peringatan HAN 2022 ini masih saja ada kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia.

Mirisnya, kekerasan pada anak-anak ini bahkan ada yang menimbulkan korban jiwa. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terjadi 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021.

Sementara itu data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus.

Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Baca juga: Berkomitmen Lindungi Anak, Kemendikbud Ristek Raih Penghargaan Anugerah KPAI 2022

Kekerasan pada anak makin mengkhawatirkan

Ketua Divisi Gender dan Anak, Satgas PPKS Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Putri Aisyiyah Rachma Dewi mengatakan, angka kekerasan pada anak kian mengkhawatirkan.

Lingkungan tempat anak-anak belajar dan bermain semakin tidak aman serta mengancam proses pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (psikis) anak.

"Kultur masyarakat kita sangat permisif terhadap budaya kekerasan bahkan anak-anak ini terancam tidak hanya dari orang dewasa tapi juga dari anak-anak yang lain," terang Putri Aisyiyah Rachma Dewi seperti dikutip dari laman Unesa, Sabtu (23/7/2022).

Menurut dia, masyarakat cenderung permisif dan kekerasan semakin dianggap wajar. Kondisi ini makin miris karena tidak hanya kekerasan fisik yang sering menimpa anak. Tetapi juga kasus kekerasan seksual terhadap anak juga masih sering terjadi.

Baca juga: Cek Biaya UKT Jalur Mandiri di UGM, UNY dan UPN Jogja 2022

Angka kekerasan seksual pada anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dewi menekankan, pelaku kekerasan seksual, tidak selalu orang asing. Namun, orang-orang terdekat anak justru bisa menjadi pelakunya.

Butuh peran orangtua

Dosen Ilmu Komunikasi Unesa ini mengungkapkan, daya nalar anak yang masih belum kompleks serta pola pikir mereka yang sederhana bukan menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Tetapi lingkungan sekitar anak yang tidak mampu memberikan perlindungan maksimal kepada mereka.

Dia menambahkan, salah satu lingkungan yang dimaksud adalah keluarga. Sebagian orangtua beranggapan bahwa kebutuhan anak hanyalah pangan, sandang, dan papan.

Sehingga orangtua cenderung sibuk dan kurang memberikan perhatian lebih kepada anak. Seperti anak bermain dengan siapa saja, lama bermain, dan perhatian sejenisnya.

Baca juga: Beasiswa S2 Belanda, Dapat Biaya Kuliah dan Tunjangan Hidup

Meningkatnya kasus kekerasan pada anak juga tak lepas dari semakin individualisnya masyarakat. Banyak yang tidak peduli dengan keadaan sekitar atau bahkan apabila hanya sekadar bertanya akan dianggap terlalu ingin tau dan ikut campur urusan orang lain.

"Saya kira negara juga harus hadir untuk menciptakan lingkungan publik yang ramah anak, taman-taman kota diperbanyak mainan anak dengan perlindungan yang aman. Seperti tersedianya matras agar saat anak terbentur tidak mengalami luka dan sebagainya," bebernya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com