Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei: Gen Z Pilih Menganggur ketimbang Tidak Bahagia di Tempat Kerja

Kompas.com - 29/06/2022, 08:41 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebanyak 41 persen dari gen Z yang tersebar di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur dibandingkan tidak bahagia di tempat kerja.

Hal ini diungkapkan dalam data dari sebuah studi yang dilakukan oleh Randstad Workmonitor tahun 2022.

Mengapa gen Z lebih memilih menganggur daripada tidak bahagia di tempat kerja?

Psikolog Klinis Dewasa, Tara de Thouars, mengatakan, gen Z memiliki sudut pandang berbeda terkait pekerjaan dibanding generasi sebelumnya.

Gen Z adalah generasi yang sangat terbuka dengan perbedaan. Penelitian McKinsey and Company menunjukkan beberapa kategori perilaku gen Z yang membedakannya dengan generasi-generasi sebelumnya. Salah satunya adalah Undefined ID, di mana generasi ini menghargai setiap individu tanpa memberi label tertentu," ujarnya saat menjadi pemateri webinar bertajuk “Creating Positive Vibes at Work: Tolerance is Key” yang diadakan oleh Unilever.

Baca juga: Fresh Graduate, Ingat 6 Hal Ini Saat Temui Bullying di Tempat Kerja

Ia mengatakan, gen Z atau para gresh graduate saat ini memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan tiap individu. "Perilaku ini tentunya akan turut memengaruhi mereka saat mencari pekerjaan," tambahnya.

Dari studi Randstand, salah satu tolok ukur dari kebahagiaan bagi gen Z adalah betapa prinsip keseteraan, keberagaman, dan inklusivitas dapat ditegakkan di tempat kerja, di mana 41 persen responden mengaku tidak akan memilih tempat kerja yang tidak mempromosikan keragaman dan inklusivitas.

Hal ini menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi para perusahaan saat mereka mengakuisisi talenta baru, yaitu bagaimana toleransi dapat dibangun menjadi sebuah budaya di setiap level organisasi.

Nyatanya, salah satu bentuk intoleransi yang masih kerap terjadi adalah workplace bullying, yaitu serangkaian perilaku yang dilakukan secara sengaja dan berulang untuk mengintimidasi, menjatuhkan, atau menyakiti orang lain di tempat kerja.

Baca juga: Ini Tiga Ciri Kamu Mengalami Fase Quarter Life Crisis

Contohnya kekerasan fisik, verbal, pengucilan atau pemboikotan, sabotase pekerjaan, dan lainnya. Workplace bullying bisa dilakukan secara langsung ataupun secara online (via telepon atau cyberbullying).

Tindakan ini melibatkan tiga pihak, pertama adalah pelaku, yang kebanyakan menyerang titik lemah target agar mereka terlihat berkuasa sehingga menutupi ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam dirinya.

Kemudian target, yang secara sengaja dan berulang dipermalukan sehingga berpotensi mengalami berbagai efek psikologis yang mengganggu keseharian dan produktivitas.

Ketiga adalah saksi, yang tanpa pemahaman yang cukup mengenai cara menghadapi situasi workplace bullying, seringkali hanya berdiam diri. Padahal, saksi memiliki peranan yang sangat penting untuk mengintervensi perilaku tidak menyenangkan tersebut.

Mencegah dan mengatasi workplace bullying, Tara kemudian berbagi tips untuk menghadapi workplace bullying, di antaranya tetap tenang, bicara dan tegaskan pendapat atau perasaan saat berkomunikasi dengan pelaku.

Laporkan pada atasan atau HRD, catat jam, lokasi, hingga siapa saja yang saat itu ada ketika peristiwa itu terjadi sehingga dapat membantu saat kita ingin melaporkan perlakuan tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com