Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Revolusi Industri 1.0 hingga 4.0 dan Perbedaannya

Kompas.com - Diperbarui 25/10/2022, 10:36 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

Proses produksi ini pada akhirnya memiliki kelemahan besar, yaitu perakitan dilakukan secara paralel. Artinya, untuk merakit banyak mobil, proses perakitan harus dilakukan oleh banyak tukang secara bersamaan. Ini membuat setiap tukang harus diajari banyak hal, seperti memasang ban, memasang setir, hingga memasang rem.

Baca juga: 5 Ciri Orang Cerdas Bukan Hanya Dilihat dari IQ, Kamu Punya Ciri-cirinya?

Seandainya ada masalah dalam proses perakitan, mobil yang belum jadi harus “digeser” dan si tukang harus meminta mobil baru sehingga proses produksi mobil bisa berjalan terus.

Butuh waktu untuk memindahkan mobil bermasalah ini dan butuh waktu mendapatkan mobil baru, dan proses perakitan harus mulai dari nol. Oleh karena itu, proses perakitan mobil seperti ini akan memakan waktu sangat banyak.

Ketika perusahaan mobil Ford di Amerika Serikat meluncurkan mobil murah pertama di dunia, bernama “Ford Model T”, mereka kebanjiran pesanan. Namun, demand tinggi tidak didukung dengan sumber daya tinggi pula. Hal ini membuat Ford akhirnya tidak bisa memenuhi keinginan pasar. Sebagai informasi, saat itu dibutuhkan waktu sekitar 12 jam 30 menit buat seorang tukang untuk merakit Ford Model T.

Di tahun 1912, Ford hanya bisa memproduksi 68.773 mobil dalam setahun. Artinya, sistem “Satu perakit, satu mobil” tak bisa dipertahankan. Sistem produksi harus direvolusi. Tanda dimulainya revolusi industri 2.0 adalah dengan terciptanya “Lini Produksi” atau Assembly Line yang menggunakan “Ban Berjalan” atau conveyor belt di tahun 1913.

Hasil dari penemuan terkait dengan roda berjalan untuk meningkatkan output barang yang diproduksi oleh pabrik. Selain itu, perubahan sistem pada pekerja juga dilakukan untuk mempercepat proses produksi. Tidak ada lagi satu tukang yang menyelesaikan satu mobil dari awal hingga akhir.

Para tukang yang tadinya mengerjakan banyak tugas bertransformasi menjadi spesialis dan hanya mengurus satu bagian saja, misalnya memasang ban.

Produksi Ford Model T dipecah menjadi 45 pos, mobil-mobil tersebut kemudian dipindahkan ke setiap pos dengan conveyor belt, lalu dirakit secara serial. Misalnya, setelah dipasang ban dan lampunya, barulah dipasang mesin. Semua ini dilakukan dengan bantuan alat-alat yang menggunakan tenaga listrik, sehingga jauh lebih mudah dan murah dari pada tenaga uap.

Perubahan ini pun berbuah manis. Penggunaan tenaga listrik, ban berjalan, dan lini produksi menurunkan waktu produksi secara drastis, kini sebuah Ford Model T bisa dirakit cuma dalam 95 menit.

Akibatnya, produksi Ford Model T melonjak, dari sekitar 68 ribu mobil di tahun 1912, menjadi 170 ribuan mobil di tahun 1913, 200 ribuan mobil di tahun 1914, dan tumbuh terus sampai akhirnya menembus satu juta mobil per-tahunnya di tahun 1922.

Bahkan produksi nyaris mencapai dua juta mobil di puncak produksinya di tahun 1925. Totalnya, hampir 15 juta Ford Model T diproduksi sejak 1908 sampai akhir masa produksinya di tahun 1927.

Baca juga: 5 Beasiswa S1-S3 ke Luar Negeri Tanpa Batas Usia, Mana Pilihanmu?

Produksi mobil murah secara besar-besaran ini pada akhirnya tidak hanya mengubah cuma industri mobil dunia, namun juga budaya seluruh dunia. Pasalnya, produksi mobil murah secara massal membuat mobil menjadi barang terjangkau. Sejak Model T diproduksi massal, bukan hanya orang kaya yang membeli dan menggunakan mobil, kelas menengah dan bawah pun turut bisa membelinya.

Ratusan juta orang pun memiliki mobil. Hal ini berdampak pada mudahnya transportasi dari rumah ke tempat kerja. Orang-orang ini pun tidak lagi bergantung dengan jarak dan jadwal transportasi umum. Hal Ini menyebabkan munculnya daerah yang disebut “Suburb” atau “Pinggiran”, yaitu perumahan yang muncul di pinggir kota, bukannya di pusat kota.

Bukan hanya mobil, produksi menggunakan conveyor belt ini juga menurunkan waktu dan biaya produksi di banyak bidang lainnya. Artinya, bertambahnya waktu, menyebabkan berkurangnya kelangkaan waktu.

Selain itu, conveyor belt juga digunakan untuk mengangkut barang tambang dari tambang ke kapal lalu dari kapal ke pabrik. Sekali lagi, menghemat waktu dan tenaga.

Masih belum cukup, penggunaan conveyor belt dan lini produksi juga menghemat luas lahan yang diperlukan pabrik. Artinya, kelangkaan lahan perkotaan untuk produksi juga berhasil dikurangi.

Revolusi industri kedua ini juga berdampak pada kondisi militer di Perang Dunia 2. Meski bisa dikatakan bahwa peristiwa revolusi industri 2.0 sudah terjadi di Perang Dunia 1, efek di masa Perang Dunia 2 lebih terasa.

Ribuan tank, pesawat, dan senjata-senjata tercipta dari pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Ini semua terjadi karena adanya produksi massal (mass production). Dampaknya, perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri menjadi hal yang komplet.

Revolusi Industri 3.0

Setelah mengganti tenaga otot dengan uap, lalu produksi paralel dengan serial, lantas perubahan apa lagi yang bisa terjadi di dunia industri? Jawabannya ialah manusia.

Revolusi industri 3.0 ditandai dengan adanya mesin yang bergerak dan berpikir secara otomatis, yaitu komputer dan robot. Hal inilah yang membuat revolusi 3.0 memiliki nama lain, yaitu Revolusi Digital.

Pada bagian ini, peristiwa revolusi industri disebut perubahan karena lahirnya teknologi komputer menandakan cikal-bakal kemudahan kerja untuk manusia.

Salah satu komputer pertama dikembangkan di era Perang Dunia 2 sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman. Komputer ini menjadi komputer pertama yang bisa diprogram dan diberi nama Colossus. Berbeda dengan zaman sekarang, komputer ini merupakan mesin raksasa sebesar sebuah ruang tidur.

Colossus adalah komputer yang tidak punya RAM dan tidak bisa menerima perintah dari manusia melalui keyboard, apalagi touchscreen. Komputer purba yang membutuhkan listrik sebesar 8500 watt ini hanya bisa menerima perintah melalui pita kertas.

Penemuan semikonduktor, disusul transistor, lalu integrated chip (IC) membuat ukuran komputer semakin kecil, listrik yang dibutuhkan makin sedikit, sementara kemampuan berhitungnya terbang ke langit.

Baca juga: Daftar Angka Romawi dan Cara Menulisnya, Siswa Harus Tahu

Mengecilnya ukuran komputer menjadi penting, sebab kini komputer bisa dipasang di mesin-mesin yang mengoperasikan lini produksi.

Kini, komputer menggantikan banyak manusia sebagai operator dan pengendali lini produksi, sama seperti operator telepon di perusahaan telepon diganti oleh relay, sehingga kita tinggal menelepon nomor telepon untuk menghubungi teman kita.

Proses ini disebut “Otomatisasi” semuanya jadi otomatis, tidak memerlukan manusia lagi. Artinya, sekali lagi terjadi penurunan kelangkaan sumber daya manusia, terbebasnya ribuan tenaga kerja untuk pekerjaan – pekerjaan lain.

Seiring dengan kemajuan komputer, kemajuan mesin-mesin yang bisa dikendalikan komputer tersebut juga meningkat. Macam-macam mesin diciptakan dengan bentuk dan fungsi yang menyerupai bentuk dan fungsi manusia.

Peristiwa revolusi industri 3.0 ini menempatkan komputer sebagai otak dari sebuah mesin, robot menjadi tangannya, pelan-pelan fungsi pekerja kasar dan pekerja manual menghilang.

Namun, ini bukan berarti tugas manusia di produksi bisa digantikan sepenuhnya oleh robot. Pabrik-pabrik mobil semula berpikir revolusi industri 3.0 ini akan seperti 2.0, di mana produksi paralel diganti total oleh lini produksi, robot akan secara total diganti oleh manusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com