Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Kriteria Pemimpin yang Layak Mengelola Kampus

Kompas.com - 07/03/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Badrun menambahkan, kriteria demokratis di lingkungan kampus terpenuhi apabila terdapat prinsip partisipatif, kebebasan akademik, sikap terbuka terhadap kritik, dan terwujudnya pelembagaan demoraktis dalam struktur dan birokrasi kampus.

Kasus gugatan Dewan Guru Besar UI tentang Statuta UI-PP No. 75 Tahun 2021 yang dinilai cacat formil dan materiil dan hanya menguntungkan kelompok elite kampus tertentu adalah salah satu contoh nyata dari pelanggaran prinsip demokrasi yang terjadi di lingkungan kampus (Kompas, 27/07/2021).

‘Nyawa’ universitas yang tercermin dalam statuta didesain sesuai kepentingan kelompok elite tertentu.

Dan parahnya, selain terjadi penyalahgunaan kekuasaan, fungsi dan peran senat akademik dan organ penting kampus lainnya diabaikan dalam penyusunannya.

Di sisi lain, sangat disayangkan sekaligus memprihatikan bahwa di Indonesia pernah terjadi kasus kriminalisasi akademisi hanya karena menuliskan kritik dan pendapatanya terhadap kebijakan kampus, seperti yang terjadi pada Saiful Mahdi (Kompas, 2/09/2021).

Sehingga, sudah saatnya kepemimpinan yang sentralistik, diktator, represif, dan antikritik diakhiri.

Selain mencedari prinsip kampus sebagai ruang kritis dan demokratis, hal ini juga berpotensi menekan kreativitas dosen dan mahasiswa karena salah satu ‘kemewahan’ yang dimiliki insan kampus adalah kritik dan pemikiran.

Untuk menghindari hal ini, pemimpin harus menjamin terdapatnya ruang diskursus pemikiran selebar-lebarnya karena ‘asupan’ terbaik bagi insan kampus adalah sikap kritis dan kebebasan berpendapat.

Jika dua hal tersebut absen dari priotitas pemimpin dan kampus resisten terhadap kritik, yang terjadi adalah ‘pengkerdilan’ prinsip kampus.

Kondisi itu hanya menjadikan insan-insan kampus sebagai ‘budak-budak’ yang menghamba pada kekuasaan semata.

Terkait dengan pencegahan budaya dan praktik antidemokrasi di kampus, segenap sivitas akademika juga harus diberikan hak untuk bersikap kritis terhadap segala aturan-aturan kampus (misalnya, statuta dan kebijakan-kebijakan pimpinan).

Hal itu demi mencegah terbukanya peluang bagi hadirnya perilaku otoriter dan praktik KKN dalam mengelola kampus yang hanya menguntungkan kelompok tertentu saja.

Oleh karena itu, seorang pimpinan kampus harus dipilih berdasarkan mekanisme dan sistem demokratis serta memiliki legitimasi, bukan dari penunjukkan yang diduga sarat dengan kepentingan.

Jika ini terjadi di kampus, kita pantas mempertanyakannya. Jangan sampai terjadi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com