Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggun Gunawan
Dosen

Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar "Translation Copyright Transanction" di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.

Polemik Sastra Masuk Kurikulum: Kebijakan atau Pemaksaan?

Kompas.com - 27/05/2024, 11:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HANYA berselang beberapa bulan menjelang tahun ajaran baru 2024/2025 dimulai (Juli 2024), Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek melaunching “Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” yang dibingkai dalam tagline “Sastra Masuk Kurikulum” pada Senin 20 Mei 2024.

Ada 177 judul buku fiksi direkomendasikan oleh para kurator yang terdiri dari para akademisi, sastrawan terkenal dan para pendidik dengan sebaran 43 karya untuk SD sederajat, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 untuk SMA/SMK/MA.

Baca juga: Kemendikud Mulai Program Sastra Masuk Kurikulum pada Juli-Agustus 2024

Disebutkan juga bahwa proses penyeleksian sudah dimulai sejak tahun 2023 dan hasilnya adalah panduan setebal 784 halaman tersebut.

Jangkauan waktu terbit buku sastra terekomendasi yang menjelajah 1 abad memang memberikan semacam diversifikasi sekaligus afirmasi terhadap buah karya sastrawan-sastrawan Indonesia dari berbagai periode waktu dari zaman kejayaan Balai Pustaka hingga era digitalisasi dewasa ini.

Tentu saja memilih 177 judul tersebut membutuhkan elaborasi yang sangat tajam dan kritis terutama sekali terkait persebaran ideologi yang dianut oleh seorang penulis (konon satu penulis se-terkenal dan se-produktif apapun diupayakan direpresentasikan lewat 1-2 karya saja), genre dan tema yang diangkat, relevansi cerita dengan situasi dan selera remaja masa kini termasuk juga kecocokan narasi dan muatan konten buku dengan psikologi umur pembaca.

Eka Kurniawan, salah satu kurator dalam program ini memberikan testimoni betapa sulitnya mencari buku sastra yang cocok dengan anak usia SMP. Sehingga jumlah judul buku untuk kategori ini yang paling sedikit dibandingkan 2 kelompok umur lainnya.

Konon hal ini dikarenakan tim kurator mengalami kebimbangan antara memasukkan buku sastra anak (children books) atau fiksi remaja (juvenile books) untuk mereka.

Dari sisi penerbit sendiri, masuknya buku terbitan mereka dalam list tersebut tentu akan menghadirkan “nafas baru” karena ini adalah angin segar buat buku-buku mereka yang akan segera menjadi bacaan bagi 53 juta siswa dari jenjang primary dan secondary level di seluruh Indonesia.

Meskipun belum jelas bagaimana proses pengadaan buku-buku sastra tersebut, apakah sekolah yang akan menyediakannya buat siswa ataukah bisa dibaca di platform baca yang disediakan oleh pemerintah?

Panduan yang “menyesatkan”

Saat buku panduan tersebut disebar dan dibaca oleh khalayak, ternyata banyak persoalan serius yang menghinggapi.

Sastrawan Nirwan Dewanto malah meminta kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses penerbitan “Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” (2024) itu untuk menghapus novelnya yang berjudul “Jantung Lebah Ratu” dari daftar buku yang direkomendasikan.

Alasannya, ia melihat buku panduan tersebut dibuat “asal-asalan”, tidak memenuhi standar editorial dan perwajahan buku yang layak.

Banyak kekeliruan informasi, baik yang dimuat dalam sinopsis buku maupun profil sang penulisnya.

Lebih gamblang lagi, Akmal Nasery Basral mengungkap betapa parahnya isi buku tersebut. Akmal yang lahir di Jakarta malah tertulis lahir di Bukittinggi. Tahunnya pun berubah dari 28 April 1968 ke 3 Juli 1946.

Jejak pendidikannya pun juga keliru. Disebutkan Akmal menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bukittinggi kemudian melanjutkan ke Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com