KOMPAS.com - Indonesia memiliki banyak gunung berapi dari Sabang sampai Merauke. Bahkan ratusan tahun silam, letusan salah satu gunung api di Indonesia Krakatau menjadi letusan terbesar di dunia dan memakan banyak korban jiwa.
Di balik bahaya erupsi gunung berapi, ada berkah yang akan menjadi sumber penghidupan masyarakat di masa datang. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Mahfud Arifin, endapan material erupsi gunung api dalam jangka waktu tertentu akan mengalami pelapukan.
Pelapukan itu akan menghasilkan tanah subur yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
"Mineral yang terkandung dalam letusan gunung api akan melapuk dan mengeluarkan berbagai nutrisi yang subur bagi kebutuhan tanaman," kata Prof. Mahfud seperti dikutip dari laman Unpad, Selasa (14/12/2021).
Baca juga: Sejak Kapan Rempah Dipakai Rakyat Indonesia? Ini Penjelasan Pakar IPB
Proses ini dipelajari Prof. Mahfud dari fenomena erupsi Krakatau tahun 1883 lampau. Pada 1983 atau 100 tahun pasca-erupsi Krakatau terjadi, dia dan tim ahli tanah di Unpad melakukan studi mengenai struktur tanah di kawasan yang tertimbun material erupsi.
Hasilnya, erupsi Krakatau tersebut membentuk tanah subur setebal 25 sentimeter. Salah satu ciri dari tanah subur tersebut adalah berwarna hitam.
"Warna hitam menandakan bahwa tanah mengandung nutrisi yang dilepaskan dari hasil pelapukan mineral primer. Nutrisi berupa kalsium, magnesium, natrium, hingga kalium merupakan mineral yang sangat dibutuhkan tanaman," ungkap Mahfud.
Dari hasil studi tersebut, lanjut Mahfud, diperoleh kesimpulan untuk menjadikan kawasan bekas endapan material erupsi gunung api subur memerlukan evolusi yang cukup lama.
Pembentukan tanah hitam yang subur di kawasan erupsi Krakatau setebal 25 sentimeter memerlukan waktu pelapukan hingga 100 tahun.
"Diperkirakan dalam waktu 100 tahun, daerah erupsi Gunung Semeru kemudian bisa menjadi daerah yang sangat subur, dengan tanah hitam yang tebal dan subur untuk tanaman pertanian," papar Prof. Mahfud.
Baca juga: Ini Hasil Riset Ilmuwan Berpengaruh Dunia dari Telkom University
Namun demikian, dalam jangka waktu yang pendek, endapan material erupsi gunung api juga bisa menjadi berkah. Endapan material tersebut kerap ditambang menjadi bahan bangunan.
Tidak heran jika gunung api secara sosiokultural sangat lekat dengan aktivitas manusia. Wilayah lereng gunung api sering padat dengan permukiman penduduk.
"Walaupun sering meletus, masyarakat selalu merapat karena tanahnya subur untuk pengembangan pertanian," imbuhnya.
Dia mengungkapkan, ada fenomena menarik dari jajaran gunung api di Indonesia. Gugusan gunung api yang membujur dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Sulawesi dan Maluku memiliki karakteristik masing-masing.
Baca juga: SNMPTN 2022, LTMPT: Pengisian PDSS Harus Bisa Dipertanggungjawabkan
Selain dapur magma yang berbeda, bahan baku dari material vulkaniknya pun berbeda. Prof. Mahfud menjelaskan, makin ke timur, bahan baku material vulkanik makin kaya unsur nutrisinya.
Hal ini menyebabkan tanah hasil endapan material vulkanik di wilayah timur jauh lebih subur dibandingkan dengan wilayah barat.
"Tanah hasil erupsi Gunung Toba, misalnya. Itu tidak sesubur mineral hasil erupsi Gunung Merapi atau Semeru," ungkap Prof. Mahfud.
Secara alamiah, makin ke timur, sifat bahan vulkanik bersifat basaltik atau basa. Sementara sifat bahan vulkanik di wilayah barat bersifat andesit atau asam.
Material basaltik lebih kaya unsur nutrisinya, sehingga menjadi lebih subur dibandingkan dengan material andesit.
Selain itu, faktor ketinggian lahan juga menjadi penentu kesuburan. Daerah bekas erupsi dengan ketinggian di atas 1.000 mdpl lebih subur dibandingkan daerah dengan ketinggian yang lebih rendah.
Prof. Mahfud menambahkan, wilayah dengan ketinggian di atas 1.000 mdpl mengalami proes pelapukan material vulkanik yang lambat akibat faktor temperatur rendah.
Proses pelapukan yang lambat menjadikan warna tanah menjadi lebih hitam karena mengandung banyak nutrisi.
Sementara di wilayah sebaliknya memiliki suhu yang tinggi sehingga proses pelapukan menjadi lebih cepat dan menghasilkan warna tanah yang lebih cokelat.
Tingkat kesuburannya lebih rendah dari tanah yang berwarna hitam.
Baca juga: Unpar Beri Beasiswa Kuliah S2 Gratis bagi Guru Sekolah Mitra
Hal ini ditemukan Prof. Mahfud dari karakteristik tanah di wilayah Jatinangor. Tanah di Jatinangor merupakan hasil endapan erupsi Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Tampomas yang terjadi beberapa ratus tahun lalu.
"Tapi tanah di Jatinangor cokelat tidak hitam seperti tanah di Lembang yang sama-sama hasil erupsi Gunung Tangkubanparahu. Kenapa? Karena Jatinangor ketinggiannnya rendah sehingga pelapukannya lebih cepat," paparnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.