Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendikbud Ristek: Ada 2.500 Kasus Kekerasan pada Perempuan di 2021

Kompas.com - 12/12/2021, 16:40 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ada sekitar 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021.

Catatan kekerasan ini, langsung disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim. Angka ini melampaui catatan pada tahun 2020 yakni 2.400 kasus.

"Peningkatan kasus dipengaruhi oleh krisis pandemi yang merupakan fenomena gunung es karena jumlah yang tidak dilaporkan berlipat ganda. Dampak dari kekerasan seksual ini bisa sampai jangka panjang hingga permanen dan mempengaruhi masa depan perempuan khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa," ujarnya dilansir dari laman Kemendikbud Ristek saat mengisi acara Nonton Bareng (Nobar) Virtual dan Webinar '16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence', Jumat (10/12/2021).

Ia mengatakan, perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Ia mencontohkan, negara Indonesia memiliki banyak tokoh perempuan pejuang kemerdekaan, pejuang pendidikan, dan pejuang bagi keluarga.

Baca juga: Perempuan Lebih Mudah Idap Gangguan Mental, Ini Penjelasan Pakar Unair

Namun, dari data tersebut menunjukkan adanya kerentanan perempuan karena mengalami kekerasan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi.

Diterbitkannya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan dibentuknya Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual terhadap perempuan.

Menteri Nadiem menjelaskan, apapun jenis dan bentuk kekerasan terhadap siapa pun harus dihapus dari lingkungan pendidikan.

"Kemendikbud Ristek menyusun dan mengesahkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai salah satu solusi pemberantasan tiga dosa besar pendidikan dan saat ini kampus-kampus di seluruh Indonesia mempersiapkan pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual," katanya.

Baca juga: Psikolog UGM: Ini Pertolongan Pertama pada Penderita Depresi

Ia juga mengajak seluruh lapisan masyarakat dan generasi muda untuk bergerak bersama dengan Kemendikbud Ristek untuk menciptakan ruang aman bersama di kampus dalam rangka mewujudkan kampus yang merdeka dari kekerasan seksual.

Pada kesempatan yang sama, Plt. Kepala Pusat Penguatan Karakter, Hendarman, mengatakan bahwa Nobar Virtual dan Webinar Puncak Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diselenggarakan dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

"Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga diperlukan gerak bersama oleh semua lapisan masyarakat untuk mengakhiri kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan," ujarnya.

Hendarman mengatakan, berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada 2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan terjadi di universitas.

"Pada tahun 2015 sekitar 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus," jelasnya.

Dalam rangka mendukung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud Ristek menggelar kegiatan “Nobar Virtual dan Webinar” pada Puncak Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Film pendek yang diputar dalam sesi nobar berjudul “Demi Nama Baik Kampus” dan merupakan film produksi Puspeka.

Film pendek ini bercerita tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Setelah sesi nobar, acara dilanjutkan dengan webinar yang dipandu oleh Joce Timothy dan Nabila Ishma.

Baca juga: Mendikbud Ristek Serahkan KIP Kuliah Merdeka di IPB

Webinar membahas isu kekerasan seksual di kampus bersama tiga narasumber, yaitu Ida Ayu Sutomo (Psikolog), Ni Loh Gusti Madewanti (Pendamping Penyintas dan Konselor Sebaya berbasis perspektif korban di Perempuan berkisah), dan Khaerul Umam Noer (Dosen Magister Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jakarta).

Menanggulangi kekerasan seksual

Psikolog Ida Ayu Sutomo mengatakan, pada kasus kekerasan seksual, yang dibutuhkan oleh korban adalah lingkungan yang mendukung (support system) untuk menguatkan korban.

“Seperti yang digambarkan pada film pendek ini, sehingga kasus dapat ditangani dan berakhir baik. Karena dampak kekerasan jangka pendek dan jangka panjang, bisa memunculkan rasa takut hingga tindakan bunuh diri,” ujarnya.

Ni Loh Gusti Madewanti, Pendamping Penyintas dan Konselor, mengatakan, jika terjadi kekerasan seksual terhadap seseorang yang dekat dengan kita, maka yang harus kita lakukan adalah menghindari semakin bertambahnya kerentanan korban.

"Tentu dengan tidak memviralkan atau memposting atau membagikan kasus tanpa mempertimbangkan risiko apa yang dialami kembali oleh korban," katanya.

Pendamping sebaiknya menanyakan mengenai kebutuhan korban dan memosisikan diri bahwa ia selalu ada untuk korban sehingga korban tidak perlu merasa khawatir. Pendamping juga bisa membangkitkan semangat korban dengan menegaskan bahwa korban tidak salah.

“Kekerasan seksual tidak akan terjadi kalau tidak ada pelaku kekerasan, jadi yang harus disalahkan itu adalah pelaku, bukan korban,” tegasnya.

Dosen Magister Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jakarta, Khaerul Umam Noer menuturkan, salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual adalah dengan mengajarkan anak berkata 'tidak' sedini mungkin.

“Sehingga jika dosen mengajak ke suatu tempat yang tidak umum dilakukan, mahasiswa berani menolak. Pun jika terpaksa, sebaiknya tidak datang sendiri,” ujarnya.

Baca juga: Ini Tiga Ciri Kamu Mengalami Fase Quarter Life Crisis

Ia mengatakan, dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, disebutkan bahwa semua kegiatan akademik di luar jam kerja, di luar jam kantor, atau jam kuliah harus sepengetahuan Kepala Program Studi (kaprodi). “Itu menjadi salah satu langkah antisipasi terjadinya tindak kekerasan yang tidak diinginkan,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com