Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/10/2021, 08:00 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Vallerie Ophelia Chavella | SMAS Kristen Ipeka Grand Wisata Jawa Barat, Finalis Festival Literasi Siswa Indonesia 2021

KOMPAS.com - “Cina, lu!”, begitulah ejekan yang sering dilontarkan kepada orang-orang minoritas bersuku Tionghoa di Indonesia. Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan di rumah bahkan menjadi bahan lelucon bagi mereka.

Bukan sekadar kata-kata, sering kali kami diperlakukan tidak adil di tengah masyarakat, misalnya dari pendidikan yang sangat terbatas bagi kaum Tionghoa sampai seringnya dipalak preman di jalanan.

Itulah sebagian pengalaman hidup nenekku dan ayahku yang mereka ceritakan kepadaku.

Bersyukur sekali dilahirkan di masa sekarang. Masa ketika hal-hal seperti itu sudah jarang terjadi. Justru jika ada yang mengejek masalah suku mungkin akan dianggap norak di zaman sekarang.

Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa dilahirkan di keluarga minoritas sangatlah sial, apalagi keluarga keturunan Tionghoa. Ditambah lagi jika menganut agama yang tergolong minoritas.

Apa lagi alasannya kalau bukan menjadi berbeda dalam segi fisik maupun kepercayaan sehingga jarang mendapatkan kesempatan yang sama besarnya dengan orang-orang pribumi yang notabene merupakan mayoritas.

Namun, aku menentangnya.

Aku tidak bisa membenarkan bahwa aku cukup sial untuk lahir di keluarga yang demikian. Heran dan miris sekali jika mendapati orang-orang yang berpikir demikian.

Baca juga: Utoeh Ishak, Penjaga Terakhir Rencong Tradisional Aceh

Jujur saja, justru hal-hal tidak enak yang orang kira aku dapatkan sebagai minoritas sama sekali tidak pernah kurasakan.

Aku sangat bersyukur dilahirkan di keluargaku dan bertumbuh di lingkungan yang tinggi akan toleransi.

Namun, apakah semua ini mungkin karena aku belum pernah melangkah jauh ke dunia yang lebih luas?

Lingkungan penuh toleransi

Bayangkan saja, seorang anak dari keluarga Kristen yang bersekolah dari TK sampai SMA di sekolah berlatar belakang agama Kristen. Pastilah selalu menjadi mayoritas di lingkungannya dalam segi agama, meskipun faktanya masih menjadi minoritas di tengah masyarakat umum.

Hidupku aman tentram dan tak pernah sekalipun mengalami kejadian diskriminasi suku atau agama hanya karena berbeda dari yang lain. Banyak teman-temanku yang berasal dari berbagai macam suku, seperti Batak, Jawa, Toraja, Sunda, hingga Tionghoa sepertiku.

Bahkan, beberapa dari mereka juga menganut agama yang berbeda. Pertemanan yang saling menerima apa adanya, tanpa memandang perbedaan yang ada.

Terkadang hal ini terlupakan. Lingkungan sekolah tak hanya sebatas guru dan siswa. Satpam, petugas kebersihan, bahkan tukang kebun sekolah juga masih termasuk dalam bagian dari keluarga sekolah.

Ya, mereka. Mereka juga berbeda dalam berbagai hal dengan kami, para murid. Namun, hal ini tidak menjadi masalah sedikitpun. Merekalah yang menjaga sekolah kami dan memudahkan kami menyelesaikan berbagai macam kegiatan.

Sekolah bisa kacau balau jika tak ada kehadiran mereka. Ketika tiba hari Lebaran, kami biasanya memberikan bingkisan kecil sebagai makna untuk menghargai dan menjaga hubungan baik dengan mereka.

Tak hanya di sekolah saja, di lingkungan rumah, tempat kursus, bahkan di gereja sekalipun banyak sekali perbedaan yang ada di antara kami. Kami juga saling menghormati dan menghargai hak kami masing-masing tanpa memandang perbedaan yang ada.

Bisa dibilang aku cukup beruntung ditempatkan di lingkungan yang tinggi toleransi.

Hal ini bukan berarti lingkunganku kebanyakan hanyalah orang-orang yang kurang lebih senasib denganku. Sangat egois dan etnosentrik sekali bila sudut pandangku hanya sesempit itu.

Ketika kakiku melangkah lebih jauh lagi dan melihat Indonesia dari sudut pandang lain, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam. Ya, toleransi.

Tanpa adanya para pahlawan yang memperjuangkan persatuan dan kemerdekaan Indonesia, rasanya tidak mungkin negara ini bisa menjadi satu.

Baca juga: Seniman Lukis Jelekong Bertahan di Tengah Badai

Oleh sebab itu, toleransi merupakan suatu komponen utama dalam mempertahankan kesatuan Indonesia. Sebelum pandemi, sekolah sudah terasa seperti rumah kedua para siswanya.

Banyak hal lain yang telah aku pelajari selain materi pelajaran sekolah. Dengan adanya keragaman suku, budaya, hingga agama di lingkungan sekolah yang sekalipun berlabel sebuah agama, membuat pikiranku tidak terkunci.

Satu pelajaran yang kudapat, yaitu perlakukanlah semua orang selayaknya diri sendiri ingin diperlakukan. Tetap bersikap ramah dan menghargai setiap orang secara tulus tak peduli apapun suku, budaya, agama, dan latar belakang mereka.

Memelihara sikap toleransi

Meskipun lingkup yang kuceritakan hanyalah lingkup sekolah yang kecil, seakan jauh dari dunia luar, tetapi percayalah sikap toleransi dan saling menghargai yang telah dibekali sedari bangku sekolah sangatlah penting bagi masa depan bangsa Indonesia.

Suku, agama, ras, dan budaya Indonesia tak terhitung jumlahnya. Bagaimana Indonesia dapat mempertahankan persatuan jika rakyatnya masih belum banyak yang menjunjung tinggi toleransi dan sikap saling menghargai?

Jika bisa, mungkin para pahlawan yang telah memperjuangkan persatuan sudah menangis sedih melihat masih adanya orang-orang Indonesia yang tidak menghargai dan menolak perbedaan yang ada.

Vallerie Ophelia Chavella | SMAS Kristen Ipeka Grand Wisata Jawa Barat,DOK. PRIBADI Vallerie Ophelia Chavella | SMAS Kristen Ipeka Grand Wisata Jawa Barat,
Memang saat ini banyak masyarakat Indonesia yang sudah mulai berpikiran terbuka, tetapi faktanya masih banyak juga yang belum sadar betapa pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut.

Jika masyarakat Indonesia, terutama anak-anak mudanya tidak bisa memelihara sikap toleransi, tak heran bila Indonesia terpecah belah di kemudian hari.

Keberagaman yang ada seharusnya mampu menjadi kekuatan dan kekayaan bagi bangsa Indonesia, bukan menjadi kelemahan atau faktor perpecahan.

Baca juga: Penutupan Felsi 2021: Pesan Meningkatkan Literasi dan Menemukan Renjana

Keberagaman yang melimpah ini akan menjadi sangat indah jika ada yang namanya toleransi. Hanya karena Indonesia telah merdeka, bukan berarti kita bebas bersikap seenaknya.

Justru tanggung jawab kita lebih berat lagi karena harus terus memperjuangkan Indonesia dari segala bentuk ancaman yang dapat memecah belah.

Berharap musuh terbesar Indonesia bukan masyarakatnya sendiri yang tak mau memahami arti toleransi.

Kalau bukan kita yang berjuang, siapa lagi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com