Jika diberi kesempatan untuk saling berinteraksi kiranya keberagaman ini akan mampu memekarkan setiap pribadi di dalamnya. Keberagaman tersebut juga termasuk keberagaman perguruan tinggi.
Selain terbagi dalam Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tiap jenis PT tersebut masih terbagi dalam berbagai golongan, baik yang secara formal di-kotak-kan oleh pemerintah, maupun yang secara informal mengelompokkan diri.
Tentu, keberagaman PT yang ada di Indonesia itu terbentuk oleh perbedaan berbagai aspek mulai dari keberadaan gedung kuliah secara fisik beserta sarana prasarananya, ‘kekayaan’ finansial yang menghidupi perguruan tinggi secara operasional, kualitas intelektual dan mental para tenaga pendidik dan kependidikan, input mahasiswa, ‘kuasa’ dari ‘sang empunya’ perguruan tinggi, serta aspek-aspek lain yang menjadi penentu kualitas lulusan dan reputasi perguruan tinggi di luar.
Realitas yang ada tersebut seyogyanya berdampak pada kelenturan dalam menanggapi kebijakan pemerintah.
Ketegangan yang mungkin terjadi adalah, bagaimana pemangku kebijakan dapat melindungi masyarakat jika tidak ada kontrol berupa standar yang sama terhadap semua perguruan tinggi yang berpraktek di Indonesia?
Pertanyaan ini tentu sulit dijawab, namun sebagai sebuah eksperimen kebijakan yang relatif baru dalam sejarah kementerian pendidikan di Indonesia, kiranya baik adanya jika kita juga bereksperimen dalam pengelolaannya.
Dengan prinsip pengalaman adalah harta yang paling berharga, dan pengalaman tidak pernah berkasta, maka tersemat harapan terhadap keterbukaan pemerintah dalam membiarkan para perguruan tinggi melenturkan diri sembari mencari jalan yang paling pas dengan situasi kondisi masing-masing untuk menyasar tujuan yang sama.
Baca juga: Program Kampus Merdeka Harusnya Dapat Merambah Dunia Politik
Secara lebih operasional kelenturan yang diharapkan mencakup:
a) Penyelarasan antar butir-butir yang ada dalam kebijakan, dari segi perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi ketercapaian tujuan, sehingga terjamin proses utuh usaha mencetak lulusan perguruan tinggi sebagai sumber daya yang handal di masa depan
b) Pemberian kepercayaan dan kemerdekaan bagi perguruan tinggi dalam mengelola
program-program yang ada, supaya lebih kontekstual dengan keberagaman situasi dan kondisi di dalamnya, dengan tetap berpegang pada esensi dari tiap program, sebagaimana semangat yang tersirat dalam MBKM. Pelaksanaan program MBKM hendaknya didasarkan pada paradigma otonomi perguruan tinggi
c) Efisiensi birokrasi dan administrasi dalam aneka aspek perguruan tinggi, baik dalam
urusan kemahasiswaan, pengembangan kualitas dosen, serta rekognisi program studi dan perguruan tinggi.
(*) Dr. Titik Kristiyani, M. Psi. l Ketua Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Indonesia
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK)