Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Peneliti AstraZeneca, Ini Masukan Indra Rudiansyah untuk Vaksin Merah Putih

Kompas.com - 02/08/2021, 11:14 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), Indra Rudiansyah sebagai salah satu tim pembuatan vaksin AstraZeneca, kali ini mendapat banyak tawaran kolaborasi dalam negeri.

Beberapa waktu lalu, saat sesi live Instagram, Menteri BUMN Erick Thorir terang-terangan memuji Indra dan membutuhkan keahlian Indra untuk kemajuan vaksin dalam negeri.

Ada harapan, Indra bisa ikut mengembangkan vaksin Merah Putih. Pengembangan vaksin Merah Putih ini dimulai dengan menganalisis urutan genetik virus SARS-CoV-2 isolat lokal Indonesia demi mencari target yang sesuai untuk benih (seed) vaksin.

Vaksin ini, dikembangkan menggunakan teknologi protein rekombinan sub unit. Pengembangan vaksin Covid-19 menggunakan isolat lokal Indonesia ini diharapkan dapat mendukung kemandirian bangsa dalam produksi vaksin.

Baca juga: Mahasiswa, Ketahui Profesi Paling Bersinar 5 Tahun ke Depan

Mahasiswa S3 Clinical Medicine di Universitas Oxford itu mengungkapkan, ternyata selama ini Indra sendiri sudah sering mengikuti diskusi terkait vaksin Merah Putih. Hanya, dia menegaskan jika dirinya bukan bagian dari tim.

"Saya lihat, tim vaksin Merah Putih juga sudah kuat dan sampai saat ini saya aktif mengikuti diskusi bareng mereka. Kalau diajak diskusi, iya, tapi kalau terlibat, tidak, " Kata Indra, dalam wawancara pribadi Jumat, (30/7/2021) lalu.

Alumni Beswan Djarum dari program Djarum Beasiswa Plus angkatan 2011/2012 ini mengatakan, pengalaman selama terlibat langsung di tim vaksin AstraZeneca bisa menjadi kolaborasi untuk tim di Indonesia

"Di Oxford sendiri tidak melakukan penelitian ini sendirian, jadi banyak pihak terlibat. Mungkin ketika nanti vaksin Merah Putih di Indonesia akan mendevelop suatu essay mungkin kita bisa konsultasi kalau di Oxford pakai ini, mungkin di Indonesia punya ide apa, seperti itu. Karena kan pemilihan metode juga salah satu faktornya adalah terkait ketersediaan sumber bahan baku," katanya.

Baca juga: Cerita Indra Rudiansyah, Alumnus ITB yang Bergabung di Tim AstraZeneca

Ia menceritakan, sebelum clinical trial atau uji klinik, tim membutuhkan hewan model yang lebih tinggi atau non-human primates, padahal di UK ada regulasi yang cukup membatasi.

Sehingga, mereka berkolaborasi dengan National Institutes of Health (NIH) di Amerika Serikat (US). Selanjutnya, mengenai keterbatasan Oxford dalam meningkatkan produksi vaksin, mereka akhirnya berkolaborasi dengan beberapa good manufacturing practices (GMP), salah satunya dari negara Italia.

"Saya lihat, vaksin Merah Putih ini sudah melibatkan banyak institusi dan industri juga. Saya pernah diundang terkait updatenya, dan progresnya baik. Ada beberapa diskusi terkait sharing, misalnya apa yang harus diperhatikan ketika desain sampai trialnya," ujarnya.

Selain perlu kolaborasi, Indra berkata, pelajaran kedua yang bisa diambil adalah kita juga harus paham bahwa riset vaksin ini tingkat atau risiko kegagalannya tinggi.

Sehingga, meskipun ketika penelitian dilakukan dan hasilnya belum berhasil, maka tidak perlu kecewa dan marah. "Meskipun vaksin penelitiannya itu belum berhasil, itu bukan berarti kita tidak mendapatkan apa-apa. Tapi, kita mendapatkan data untuk improvement di proses penelitian selanjutnya," ujarnya.

Jebolan Oxford ini bercerita mengenai pengalamannya selama ikut dalam tim vaksin AstraZeneca. Dia masuk ke dalam tim respons antibodi, dari sekian banyak tim pembuatan vaksin AstraZeneca.

Baca juga: Cerita Lulusan SMK Buka Bisnis Kuliner Beromzet Rp 150 Juta Per Bulan

"Kalau di tim saya mungkin ada sekitar 10 sampai 12 orang. Tapi secara keseluruhan clinical trial ini bisa sampai ratusan," sebutnya.

Awalnya, Indra tengah meneliti vaksin untuk malaria. Namun, pandemi yang terjadi pada awal 2020 lalu membuatnya tergerak untuk ikut serta dalam penelitian tersebut.

Indra merupakan mahasiswa ketiga yang bergabung dalam Jenner Institute yang melakukan riset untuk pembuatan vaksin Covid-19. Ratusan peneliti lainnya turut bergabung untuk mempercepat kesiapan vaksin AstraZeneca.

Dalam riset ini, Indra menghabiskan waktu sekitar 8-10 jam setiap harinya selama enam bulan. Usahanya dan tim tak sia-sia karena kini AstraZeneca menjadi salah satu vaksin yang banyak digunakan untuk melawan Covid -19.

Saat ditanya, apakah setelah menyelesaikan studinya ia kembali ke Indonesia untuk mengembangkan vaksin Malaria, ia menjawab belum tahu.

"Kalau itu, tergantung rencana jangka panjang perusahaan, saya tidak tahu. Namun hasil selama saya studi uni bisa diaplikasikan ke banyak spesifikasi produk, bisa ke teknologi viral vector, atay mungkin semacam metode pengujianh yang bisa dimanfaatkan untuk evaluasi vaksin baru di Bio Farma. Saya concern kan ke teknologi viral vector yang bisa diterapkan disease lain. Malaria ini bisa digambarkan sebagai contoh model teknologi tersebut," ujarnya.

Baca juga: Alumnus ITB di AstraZeneca: Buat Vaksin Sulit, Malah Ditimpa Hoaks

Terkait potensi sel dentritik untuk membuat vaksin Covid-19, Indra menilai bukan hal mustahil dilakukan mengingat kemajuan teknologi sudah bisa mewadahi inovasi tersebut.

Metodenya dilakukan dengan mempertemukan sel imun dendritik yang diambil dari tubuh lalu dipertemukan dengan virus di laboratorium.

"Kemudian sel dendritik yang sudah dipertemukan tadi, kemudian belajar di dalam laboratorium dan dimasukkan kembali ke tubuh, sehingga tinggal menyampaikan ke sel imun adaptif untuk melawan Covid-19," ujar Indra dalam acara bincang dengan media, beberapa waktu lalu.

Untuk diketahui, ada dua jenis sel yang membantu memerangi virus, yaitu sel imun bawaan dan sel imun adaptif.

"Sel imun bawaan sudah ada di dalam tubuh dan membuat kekebalan alami. Sementara sel imun adaptif memproses virus dan mempresentasikan virus tersebut ke sel imun bawaan yang juga membutuhkan proses alami dalam tubuh," katanya.

Karena itu, sangat memungkinkan sel tubuh diambil dan dipertemukan dengan sel virus di lab, lalu dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Itulah yang disebut sel dendritik.

Baca juga: Pakar UGM Sebut Vaksin Ketiga Perlu Pertimbangan

Meski potensial, menurut lelaki lulusan S1 dan S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, metode ini sangatlah tidak praktis atau tidak tepat diterapkan di masa pandemi Covid-19, di mana vaksinasi harus dilakukan dengan cepat, tepat dan massal.

Alasannya, metode sel dendritik memerlukan waktu yang lama dan rumit untuk dilakukan di masa pandemi Covid-19.

"Karena itu, jika harus vaksinasi sebanyak mungkin orang-orang atau mempercepat mencapai herd immunity tapi kita juga memerlukan waktu untuk ambil darah pasien, kemudian sel dendritiknya diisolasi dan dipertemukan dengan protein virus, kemudian dimasukan lagi itu memerlukan proses yang panjang," terang mahasiswa asal Bandung, Jawa Barat itu.

Lelaki yang juga tengah meneliti kandidat vaksin malaria di Oxford University itu menyarankan teknologi dan inovasi sel dendritik ini bisa digunakan terapi pemulihan paru-paru setelah pasien Covid-19 dinyatakan sembuh.

"Karena dari yang saya baca Covid-19 bisa menyebabkan luka di paru-paru yang mana jaringannya banyak yang mati, dengan teknologi tersebut paru-paru kita bisa sembuhkan," pungkas Indra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com