Oleh: Anggi Afriansyah | Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Pernah menjadi Guru PPKn
KOMPAS.com - Memperhatikan berbagai kontroversi politik yang terjadi belakangan ini membuat saya mengingat masa ketika mengajar PPKn di sekolah beberapa tahun lalu.
Betapa perkara-perkara ideal yang ada di buku teks sulit untuk dipaparkan ke anak-anak karena dalam konteks politik sesungguhnya terdapat begitu banyak paradoks yang melukai akal sehat.
Pada saat saya masih mengajar PPKn di kelas X dan Kelas XI SMA dipelajari materi mengenai sistem politik dan budaya politik. Materi-materi tersebut disampaikan ke siswa sebagai bagian pembelajaran politik di ruang kelas.
Secara umum diharapkan anak-anak memahami konteks politik yang ada di Indonesia sehingga mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses politik. Apalagi anak-anak ini sudah menjelang usia di mana mereka memiliki hak politik.
Budaya politik partisipatif tentu menjadi sangat penting untuk diwujudkan.
Dalam suatu sesi di pembelajaran saya mengutip kata-kata Peter Merkl “politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan, sedangkan dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri”.
Ketika paparan tersebut disampaikan ada berbagai reaksi dari anak-anak. Mereka sepakat bahwa pada realitas politik wujud kedua yaitu perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan lebih dominan.
Baca juga: UGM: Kita Bersatu Melawan Covid-19 Tanpa Motif Politik, Ideologi...
Namun, selama pembelajaran berlangsung terdapat satu reaksi yang saya ingat hingga kini karena komentarnya begitu tajam.
Dalam satu pertemuan ada seorang anak menyatakan bahwa dalam realitas politik, apa yang yang saya sampaikan begitu ideal dan tidak mudah dilakukan, sebab menurutnya di banyak situasi, pertarungan politik yang sehat sulit dilakukan.
Ia menceritakan pengalaman ril yang ia dapatkan ketika menemani ayahnya kampanye di berbagai lokasi. Ayahnya merupakan salah satu calon anggota legislatif. Ia mengajukan beberapa contoh di mana politik uang begitu mudah ditemukan dalam kontestasi politik.
Uang, menurut sang murid, bisa mudah dibagikan, dan tanpa uang politik sulit berjalan. Sang Ayah gagal melaju karena dikalahkan oleh kontestan lain yang menggunakan politik uang yang begitu kentara.
Sebab itu ia katakan bahwa apa yang saya sampaikan hanya ideal di atas kertas dan mustahil dilakukan.
Mendengar cerita siswa tersebut, saya pun berefleksi betapa tidak mudah menyampaikan materi-materi ideal di ruang kelas sebab seringkali situasi kontras justru hadir keseharian di kehidupan anak keseharian.
Pendidikan dalam konteks pembelajaran di ruang kelas berhadapan langsung dengan pendidikan yang diberikan secara faktual di kehidupan anak sehari-hari, yang dilihat secara langsung, melalui tayangan televisi, media sosial, dan sebagainya.