Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Belajar Memahami Dinamika Sosial Politik dari Ruang Kelas

Kompas.com - 16/06/2021, 20:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Anggi Afriansyah | Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Pernah menjadi Guru PPKn

 

KOMPAS.com - Memperhatikan berbagai kontroversi politik yang terjadi belakangan ini membuat saya mengingat masa ketika mengajar PPKn di sekolah beberapa tahun lalu.

Betapa perkara-perkara ideal yang ada di buku teks sulit untuk dipaparkan ke anak-anak karena dalam konteks politik sesungguhnya terdapat begitu banyak paradoks yang melukai akal sehat.

Pada saat saya masih mengajar PPKn di kelas X dan Kelas XI SMA dipelajari materi mengenai sistem politik dan budaya politik. Materi-materi tersebut disampaikan ke siswa sebagai bagian pembelajaran politik di ruang kelas.

Secara umum diharapkan anak-anak memahami konteks politik yang ada di Indonesia sehingga mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses politik. Apalagi anak-anak ini sudah menjelang usia di mana mereka memiliki hak politik.

Budaya politik partisipatif tentu menjadi sangat penting untuk diwujudkan.

Dalam suatu sesi di pembelajaran saya mengutip kata-kata Peter Merkl “politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan, sedangkan dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri”.

Ketika paparan tersebut disampaikan ada berbagai reaksi dari anak-anak. Mereka sepakat bahwa pada realitas politik wujud kedua yaitu perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan lebih dominan.

Baca juga: UGM: Kita Bersatu Melawan Covid-19 Tanpa Motif Politik, Ideologi...

Politik, antara ruang kelas dan realitas

Namun, selama pembelajaran berlangsung terdapat satu reaksi yang saya ingat hingga kini karena komentarnya begitu tajam.

Dalam satu pertemuan ada seorang anak menyatakan bahwa dalam realitas politik, apa yang yang saya sampaikan begitu ideal dan tidak mudah dilakukan, sebab menurutnya di banyak situasi, pertarungan politik yang sehat sulit dilakukan.

Ia menceritakan pengalaman ril yang ia dapatkan ketika menemani ayahnya kampanye di berbagai lokasi. Ayahnya merupakan salah satu calon anggota legislatif. Ia mengajukan beberapa contoh di mana politik uang begitu mudah ditemukan dalam kontestasi politik.

Uang, menurut sang murid, bisa mudah dibagikan, dan tanpa uang politik sulit berjalan. Sang Ayah gagal melaju karena dikalahkan oleh kontestan lain yang menggunakan politik uang yang begitu kentara.

Sebab itu ia katakan bahwa apa yang saya sampaikan hanya ideal di atas kertas dan mustahil dilakukan.

Mendengar cerita siswa tersebut, saya pun berefleksi betapa tidak mudah menyampaikan materi-materi ideal di ruang kelas sebab seringkali situasi kontras justru hadir keseharian di kehidupan anak keseharian.

Pendidikan dalam konteks pembelajaran di ruang kelas berhadapan langsung dengan pendidikan yang diberikan secara faktual di kehidupan anak sehari-hari, yang dilihat secara langsung, melalui tayangan televisi, media sosial, dan sebagainya.

Pandangan elit dan masyarakat

Memperhatikan kondisi tersebut saya meminta anak-anak untuk melakukan wawancara dan observasi singkat mengenai beberapa materi khususnya terkait sistem politik dan budaya politik.

Salah satu bagian tugas yang diberikan adalah melakukan wawancara terhadap tokoh politik. Pertimbangan akses orang tua mereka ke jejaring politik menjadi hal utama dalam penugasan ini. Sehingga saya yakin mereka dapat melaksanakan tugas wawancara ini dengan baik.

Wawancara terhadap narasumber yang terlibat aktif di dunia politik praktis diharapkan memperkaya pengetahuan praktis anak-anak.

Sebelum mereka melakukan wawancara saya menyampaikan poin-poin penting yang perlu ditanyakan kepada narasumber dan kemudian meminta mereka mengembangkan hal-hal yang penting dalam pandangan mereka. Kegiatan wawancara ini dilakukan secara berkelompok.

Baca juga: Politik Uang Lumrah di Indonesia

 

Dari kegiatan wawancara ini juga diharapkan anak-anak berupaya secara kreatif untuk mencari narasumber juga gigih untuk mendapatkannya.

Pada prosesnya, anak-anak diminta untuk mentranskrip hasil wawancara, menganalisa, membuat laporan, dan mempresentasikannya di hadapan teman-teman kelas.

Pada awalnya saya tidak memiliki ekspektasi besar terkait siapa yang akan diwawancarai anak-anak. Saya lebih menghargai proses wawancara dan bagaimana anak-anak berjuang untuk menyelesaikan tugas ini.

Namun ternyata mereka terdapat cukup banyak tokoh nasional dan masih menjabat di berbagai struktur pemerintah maupun partai politik.

Beberapa yang berhasil diwawancarai oleh anak-anak antara lain Basuki Cahaya Purnama (Wakil Gubernur DKI), Aburizal Bakrie (Ketua Umum Golkar), Sidarto Danusubroto (Anggota DPR dari PDIP dan kemudian menjadi Ketua MPR), Lukman Hakim (anggota DPR dari PPP sekarang Menteri Agama), Hamdan Zoelva (Ketua MK) dan beberapa tokoh lainnya.

Karena wawancara tersebut hanya mendapat pandangan elit, sebagai pembanding bagi perspektif anak-anak, di sesi lain mereka diminta untuk mewawancarai masyarakat di sekitar sekolah untuk mendapatkan pemahaman politik di masyarakat umum.

Mereka bisa tahu bagaimana pemahaman masyarakat umum mengenai politik praktis dan manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.

Kegiatan tersebut lebih menyenangkan bagi anak-anak dibanding penjelasan ideal mengenai teori-teori politik.

Anak-anak jadi lebih memahami betapa ada jarak antara yang ideal dengan apa yang dipraktikan di dunia politik. Persinggungan langsung anak-anak dengan para tokoh politik maupun masyarakat luas menjadi bagian dari pembelajaran berdemokrasi bagi anak-anak.

Baca juga: Ganjar Pranowo Berbagi Kisah Saat Menjadi Mahasiswa dan Terjun ke Politik

"Sekolahmu itu belum lagi apa-apa..."

Membuat anak-anak memiliki pemahaman memadai tentang kondisi politik ataupun pemahaman politik masyarakat merupakan ikhtiar agar mereka memahami negeri yang mereka pijak.

Sentilan Pramoedya Ananta Toer menjadi sangat relevan tentang mereka yang bersekolah tetapi banyak tidak tahu tentang kondisi bangsa.

Kata Pramoedya dalam Buku Anak Semua Bangsa disebutkan "…dan untuk kesekian kalinya terpikir olehku: lulus H.B.S. ternyata hanya makin membikin orang tahu tentang ketidaktahuan sendiri. Maka kau harus belajar berendahhati, Minke! Kau, lulusan H.B.S.! Sekolahmu itu belum lagi apa-apa…”

Mempelajari secara langsung dinamika sosial politik baik di level elit maupun masyarakat umum diharapkan memantik kesadaran anak-anak tentang kondisi negeri ini dengan beragam kompleksitasnya.

Mereka adalah pemimpin masa depan yang akan melanjutkan estafet bangsa ini, maka sudah sepatutnya mereka mengetahui dinamika dan berbagai persoalan bangsa sejak belia.

Dalam buku Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia (editor: Cahyo Pamungkas dan Yogi Setya Permana), saya menulis salah satu bab yang bertajuk Rohis, Persemaian Intoleransi, serta Ekosistem Pendidikan yang Menegasikan Orientasi Humanistik: Kasus Sekolah Menengah Atas di DKI Jakarta.

Salah satu temuan yang didapat adalah betapa pendidikan di sekolah-sekolah lebih memberi porsi besar pada upaya peningkatan prestasi akademik.

Sementara bangunan program yang menjadikan anak-anak memahami situasi bangsa masih sangat minim.

Di sisi lain dari temuan lapangan didapat pembelajaran politik minim didapatkan siswa di sekolah. Hal yang kemudian diperpearah dengan interaksi siswa dengan ragam kalangan yang terbatas.

Padahal, pembelajaran yang tidak terpaku pada teks-teks semata tetapi juga memperhatikan isu kontekstual menjadi sangat penting dialami oleh anak-anak.

Paling penting membuat anak mengalami secara langsung berbagai dinamika yang ada di masyarakat. Melalui proses tersebut mereka kan berusaha merelasikan pemahaman konseptual yang di dapat di ruang kelas dan mengkontekstualisasikan dengan situasi faktual yang mereka temukan melalui serangkaian wawancara dan observasi langsung.

Kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara harus hadir di ruang kelas. Anak-anak diharapkan dapan mengobservasi berbagai persoalan bangsa dan kemudian berupaya menganalisanya.

Mereka juga diharapkan belajar untuk memamparkan penyelesaian seperti apa yang bisa dilakukan utuk mengurai benang kusut persoalan di negeri ini.

Tentu saja ikhtiar ini bukan perkara mudah. Karena, seperti sudah dijelaskan di awal, selalu ada kontradiksi antara apa yang dipelajari di ruang pendidikan dengan apa yang ada di dunia nyata.

Pada poin ini guru harus meyakinkan siswa bahwa pendidikan tidak semata di sekolah tetapi juga di berbagai lokus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com