2. Apabila informasi tersebut berisikan ajakan untuk menyebarkan lebih luas ke pengguna lainnya. Bisa dipastikan, informasi tersebut cenderung mengarah ke hoaks.
3. Informasi tersebut tidak menyertakan sumber, pengguna mesti berhati-hati akan kebenarannya. Ketika ada sumber, masyarakat juga harus mengonfirmasi kebenarannya.
Tidak jarang, banyak info yang mencantumkan nama dokter atau ilmuwan yang sebenarnya tidak ada sosoknya.
“Ternyata setelah dicek ke data di IDI, atau di Google, nama tersebut tidak ada. Ini bisa dipastikan hoaks,” tegas Jenny.
Tingkat pendidikan ternyata tidak memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi hoaks. Ada banyak di antara kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi ternyata ikut menyebarkan hoaks.
Baca juga: Pakar Biologi Kelautan ITS: Begini Perlakuan Ikan Paus yang Terdampar
Maka dari itu, Jenny menyimpulkan bahwa seseorang bisa dengan mudah termakan hoaks disebabkan oleh tingkat literasi teknologi dan media sosial yang masih rendah.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Jenny melakukan wawancara dengan delapan narasumber yang berperan sebagai penangkis hoaks.
Narasumber tersebut terdiri dari beragam profesi, mulai dari ibu rumah tangga, dokter, karyawan, praktisi, akademisi, hingga pensiunan.
Sukarelawan penangkis hoaks sangat berperan penting dalam mencegah meluasnya hoaks kesehatan. Mereka akan mengorbankan waktu dan tenaganya untuk menelusuri kebenaran dari informasi yang didapat.
Salah satunya dengan cara mencari referensi ilmiahnya di Google bahkan hingga konfirmasi melalui telepon jika pada informasi tersebut mencantumkan alamat dan nomor telepon.
Tanggung jawab moral menjadi alasan mengapa para narasumber ini rela bertindak sebagai penangkis hoaks.
“Mereka itu pahlawan informasi, karena sukarela mau melakukan konfirmasi dengan effort yang tidak sedikit,” tutur Jenny.
Baca juga: Hari Perempuan Internasional, Ini Rektor-Rektor Perempuan di Indonesia
Jenny berharap akan banyak pengguna WhatsApp yang sadar dan mau menjadi penangkis hoaks. Hal ini membutuhkan peran serta generasi muda untuk membantu menyadarkan kelompok pengguna yang masih gagap informasi.
“Kita harus bisa konfirmasi dengan baik dan jangan sungkan untuk menyebarluaskannya kalau sudah mendapatkan komunikasi. Tabayun dengan benar adalah keharusan,” pungkas Jenny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.