Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku "The Righteous Mind": Membongkar Fitrah Manusia

Kompas.com - 08/01/2021, 15:18 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Rika Iffati Farihah | Alumnus S2 Psikologi

KOMPAS.com - Entah kalau Anda, tapi saya merasa sejak Pilpres 2014 ada sesuatu berbeda dalam situasi kebangsaan kita. Mungkin itu juga disebabkan berkembangnya teknologi informasi, internet, dan media sosial.

Beberapa tahun belakangan, seolah ada garis imajiner yang memecah masyarakat menjadi dua: pendukung capres A dan pendukung capres B.

Situasi berlanjut hingga Pilpres 2019 dan tidak berhenti ketika presiden terpilih sudah ditetapkan dan menjabat.

Saking sengitnya polarisasi itu, muncul satu cara pengambilan kesimpulan yang terbalik: kalau Anda tidak sependapat dengan kelompok A dalam suatu isu, maka Anda pastilah anggota kelompok B.

Ini membuat diskusi isu publik menjadi tidak sehat.

Yang menarik, masing-masing pihak merasa telah memberi argumen yang kuat dan tak dan tak habis pikir bagaimana pihak satunya tidak menerima kebenaran argumen mereka.

Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kita manusia, bukan hanya di Indonesia, begitu mudah terbelah akibat pilihan politik atau agama?

Jonathan Haidt, ahli psikologi dari Amerika Serikat, mengulas persoalan itu dalam buku yang berjudul "The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama", yang terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Pada Kamis, 14 Januari 2021 pukul 19.00 WIB, buku ini akan jadi bahan diskusi antara saya dan Budiman Sudjatmiko melalui tautan Zoom: http://bit.ly/zoom_DiskusiBukuTheRighteousMind

Baca juga: Buku Menulis Kreatif dan Berpikir Filosofis untuk Menemukan Jati Diri

Sudut pandang baru psikologi moral

Dua tahun sebelum versi Bahasa Indonesia buku ini terbit, saya membacanya untuk keperluan penyusunan tesis magister psikologi.

Sudah lama saya tertarik mempelajari soal moral, lebih tepatnya mempelajari aspek-aspek psikologis yang menyebabkan orang merasa secara moral punya hak untuk menghakimi, mempersekusi, dan kadang bahkan merenggut nyawa orang lain.

Untuk proposal tesis, mahasiswa di kampus saya minimal harus mengulas dua puluh artikel jurnal terbaru (terbit dalam kurun sepuluh tahun terakhir) yang terkait tema bahasan riset.

Di situlah saya menjumpai nama Haidt yang dikutip di berbagai artikel riset tentang moral. Artikel-artikel Haidt, apalagi artikel perintisnya, “The Emotional Dog and Its Rational Tail” di Psychological Review (2001), dikutip ribuan artikel akademis lain.

Dunia akademis Indonesia belum banyak mengenal Haidt. Berbeda dengan Lawrence Kohlberg, salah satu tokoh besar bidang psikologi moral.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com