Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Eksistensi Semu Jadi Profesor

Sontak ini menggegerkan dunia akademik di Indonesia. Muncul banyak tanya tertuju pada 160 artikel tersebut, "apakah artikel yang sudah terbit itu berkualitas?"

Salah satu pandangan dari akademisi yang paling menarik perhatian saya terkait kejadian di atas, datang dari Prof. Iswandi Syahputra.

Ia dalam opininya di Kompas, 17 April 2024, menyampaikan bahwa kejadian itu merupakan buah dari efek kobra yang mendera dunia akademik kita sekarang ini.

Efek kobra yang diumpamakan Prof. Iswandi berangkat dari fenomena anekdotal di India, sekilas digunakannya untuk menjelaskan tentang usaha mengejar peningkatan kuantitas publikasi di Indonesia, malah justru menghasilkan dampak buruk bagi marwah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dalam beberapa dekade belakangan diketahui bahwa persentase publikasi di Indonesia sangat rendah. Bahkan jauh di bawah negara tetangga kita, yakni Malaysia.

Tampaknya, setiap negara tak hanya berlomba-lomba dalam meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.

Di sisi lain, setiap negara juga memprioritaskan peningkatan publikasi ilmiah dalam konteks "perlombaan" tersebut. Negara mana yang paling tinggi publikasi ilmiahnya cenderung dikategorikan sebagai negara "maju" dan "rasional".

Seturut dengan situasi itu kemudian mendorong pemerintah Indonesia melalui Kemenristekdikti memotivasi para peneliti dan dosen untuk meningkatkan publikasi ilmiahnya.

Tak tanggung-tanggung, bahkan untuk mengejar peningkatan tersebut, setiap perguruan tinggi di Indonesia akan memberi hadiah bagi dosen yang telah mempublikasikan artikel ilmiahnya pada jurnal bereputasi seperti terindeks Scopus.

Di situlah kemudian muncul masalahnya, apakah usaha meningkatkan publikasi ilmiah hanya sebatas pengejaran kuantitas semata? Lantas, sejauh mana kualitas artikel ilmiah yang telah terpublikasikan itu?

Dalam satu dekade belakangan ini, publikasi ilmiah di Indonesia memang tampak naik drastis, tapi kualitasnya sangat jauh di bawah standar keilmiahan.

Tujuan pemerintah dalam kebijakannya untuk meningkatkan publikasi ilmiah tampaknya benar, tapi justru melahirkan efek kobra di kalangan akademisi yang doyan mengejar kepangkatan serta tunjangan profesor.

Pangkal persoalannya, menurut saya, adalah motivasi eksistensi semu yang telah menjadi mentalitas akademisi kita. Hal ini semakin terkondisikan dengan adanya kebijakan untuk meningkatkan publikasi ilmiah di Indonesia.

Dalam kata lain, eksistensi semu yang telah mendahului esensi itulah yang menjadi akar persoalannya.

Eksistensi seorang akademisi (dosen dan peneliti) adalah dapat mencapai jabatan akademik tertinggi, yakni guru besar.

Menjadi guru besar atau scholar (cendekiawan) ini memang penting karena ia akan bertanggungjawab menghasilkan karyanya demi terciptanya peradaban. Ini merupakan eksistensi yang murni.

Namun, yang terjadi di Indonesia malah sebaliknya. Mewabahnya istilah GBHN (Guru Besar Hanya Nama) yang sekadar mengejar tunjangan profesor melalui peningkatan publikasi ilmiah adalah wujud dari eksistensi semu. Ini yang menjadi masalahnya.

Sehingga, menjadi guru besar suatu prestasi untuk "keren-kerenan", bukan bertanggungjawab menghasilkan karya berkualitas demi peningkatan peradaban.

Mentalitas eksistensi semu di kalangan akademisi saat ini sangat menjamur di Indonesia. Situasi ini semakin diperparah dengan banyaknya calo-calo yang menawarkan jasa publikasi ilmiah ke jurnal bereputasi seperti terindeks Scopus.

Saya punya pengalaman tersendiri mengenai hal itu. Beberapa hari lalu, sebelum tulisan ini dibuat, saya mendapat pesan WA dari seorang calo yang menawarkan publikasi ilmiah.

Dalam pesannya itu ia menyampaikan bahwa, "ada Scopus Q4 pendidikan kena $750 langsung publish dalam satu minggu jika paper-nya berkualitas (turnitin 25%). Jika ada yang berminat, artikelnya sudah siap dari saya". Wow, dalam benak saya, luar biasa.

Si calo itu sudah menyiapkan artikelnya untuk saya, tinggal saya iyakan, artikel akan publish dalam kurun waktu satu minggu ke depan.

Keberadaan calo publikasi ilmiah ini justru semakin menyuburkan mentalitas eksistensi semu (pragmatis) di kalangan akademisi demi sekadar meraih suaka dari tunjangan profesor. Sungguh ironis sekali situasi keilmuan kita seperti itu.

Implikasinya, artikel-artikel yang diterbitkan oleh para akademisi bermental eksistensi semu ini adalah kering kualitas keilmiahan dan metodologinya.

Bahkan, kalau kita membaca artikel-artikel tersebut, kita menjadi tidak tahan berlama-lama di depan laptop untuk membacanya. Tulisannya sangat kering dan membosankan.

Sepertinya, pemerintah harus mencari format baru agar bagaimana memungkinkan para akademisi dalam publikasi ilmiahnya tak sekadar mengejar kuantitas semata, alih-alih meminimalkan tumbuh suburnya mentalitas eksistensi semu tersebut.

Mungkin yang paling pertama dilakukan adalah mengevaluasi proses pengajuan guru besar, dengan cara menambah pengecekan kembali kualitas dari artikel ilmiah yang telah diterbitkan para akademisi.

Pengecekan kualitas dari artikel ilmiah tersebut sangat penting, tidak sekadar mengecek seberapa banyak artikel ilmiah yang sudah terpublikasi di jurnal bereputasi.

Sejauh ini, tolok ukur menjadi profesor relatif mudah, yakni hanya dilihat dari seberapa banyak artikel ilmiah yang terbit di jurnal bereputasi seperti syaratnya sudah memenuhi Q1, Q2, dan seterusnya.

Syarat semacam itu perlu ditambahkan lagi dengan pengecekan kembali kualitas dari artikel-artikel ilmiah yang telah terbit.

Dengan cara ini, maka pemerintah tak sekadar mengejar kuantitas dari publikasi ilmiah, tapi juga dapat meningkatkan kualitas keilmiahan di Indonesia serta meminimalkan tumbuh suburnya eksistensi semu di kalangan akademisi.

Jujur saja, eksistensi semu dari para akademisi yang menjadi biang kerok dari kemunduran kualitas ilmiah kita di Indonesia.

https://www.kompas.com/edu/read/2024/04/18/155111471/eksistensi-semu-jadi-profesor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke