Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dramaturgi Guru Konten Kreator: Antara Pendidikan dan Godaan Citra Diri

Seorang guru merekam aktivitas pembelajaran, mengedit, merekayasa, sebelum akhirnya diunggah dalam bentuk konten. Istilah populernya “berbagi praktik baik.”

Sebatas permodelan tersebut, tentu tidak ada yang perlu dipersoalkan. Bahkan dalam bingkai disiplin ilmu teknologi pendidikan, permodelan “berbagi praktik baik” tersebut diyakini sebagai implementasi variasi pembelajaran–yang dapat membantu proses peningkatan mutu pendidikan lebih efektif, efisien, cepat, dan banyak.

Dukungan masyarakat jaringan lewat media sosial juga akan membuat persebarannya jauh lebih terakomodasi dan tercapai.

Di sisi lain, dalam pengembangan, pelebaran, dan pemberdayaan, banyak pula guru yang menjadikan fenomena ini sebagai ruang aji mumpung untuk ikut meramaikan dunia perkontenan dan branding diri.

Tujuan “berbagi praktik baik” justru berubah dan berbelok arah ke sebaran produksi, duplikasi, dan pengekoran viralitas belaka.

Tidak ada data resmi untuk persoalan ini. Namun perlu diketahui bersama, memang belum ada pengelompokan yang jelas dan pasti perihal persoalan ini.

Padahal, kita sedang kesulitan membedakan batas maksud, fungsi, dan identitasnya, antara Guru, Guru Ngonten, Guru Konten Pendidikan, Guru Influencer, Guru Penggerak, Kreator Konten Pendidikan, hingga Sales Kurikulum.

Semua fungsi dan identitas tersebut berbaur menjadi satu dalam wadah konten. Sehingga, pada akhir kalkulasi tujuannya semua bermuara ke peningkatan views, followers, branding, sampai open endorse.

Pendidikan, pembelajaran, dan identitas guru berubah sekaligus bergeser menjadi inang dan cangkang atas nama konten. Kalau sudah begini, integritas pendidikan menjadi dipertaruhkan dalam bingkai popularitas.

Itu sebabnya, penting untuk menanyakan ulang secara terus menerus, berbagi praktik baik akhirnya untuk siapa dan apa? Apa yang terjadi ketika camera off? Bagaimana kondisi real dari aktivitas tersebut?

Godaan dramaturgi

Tidak bermaksud sedikit pun untuk mencurigai segala hal baik, namun ketika kita memutuskan masuk ke ranah masyarakat digital (media sosial), konsekuensi yang tidak terprediksi (unintended consequence) merupakan hal yang tidak bisa dihindari.

Bagaimanapun ruang maya adalah desain ruang manipulatif, rekayasa, dan pengondisian.

Karakter dan sifat desain tersebutlah yang membuat makna sudah bukan lagi tentang makna itu sendiri. Jauh melampaui keadaan sebenarnya.

Dalam interaksi sosial, Erving Goffman menyebutnya dramaturgi. Contohnya begini, Anda sebelum masuk ruang rapat bersama atasan, tentu segala sesuatunya akan dipersiapkan. Mulai dari pakaian rapi, bersih, wangi, bersepatu, dsb.

Intinya ada upaya pengondisian terhadap suatu ruang tertentu yang bertujuan mendapat pesan dan kesan tertentu.

Setelah keluar dari ruang rapat bersama tersebut, Anda langsung pergi ke warung kopi pinggir jalan. Di sana, pengondisian peran kembali terjadi dan tentunya akan berbeda dengan saat akan masuk ke ruang rapat bersama atasan.

Hingga akhirnya Anda pulang untuk istirahat sendirian di kamar–yang tentunya segala pengondisian-pengondisian sepanjang hari coba Anda tanggalkan.

Karena di dalam kamar, Anda tidak sedang berinteraksi dengan siapapun. Dalam dramaturgi hal demikian disebut front stage dan back stage.

Bagi Manning (dalam Ritzer, 2014: 286), konsep dramaturgi ini sama seperti fakta sosial sendiri; tesis dua diri, pertunjukkan bertopeng dengan menyembunyikan diri yang sinis dan manipulatif untuk mengejar tujuan mereka sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.

Permodelan tersebut sangat kental dengan nuansa godaan eksistensi jagat digital. Teknologi citra seperti media sosial, bagaimanapun suatu ruang yang bekerja dalam balutan pencitraan, pengondisian, dan perekayasaan (baca simulasi dan hiperrealitas).

Mungkin dapat juga disebut, media sosial tidak lain adalah rumah produksi dramaturgi itu sendiri. Apa yang diunggah merupakan hasil rekayasa dan pengondisian atas maksud dan tujuan tertentu.

Semua terjadi lewat editing audio-video, analitik algoritma, kajian konten viral, hingga manajemen waktu. Pada akhirnya konten-konten adalah citra kebaikan itu sendiri. Lebih tepatnya, kebaikan yang terkondisikan.

Bila konsep dramaturgi tersebut terjadi pada ruang belajar dan pendidikan, tentu kita kehilangan keotentikan dari proses belajar. Pendidikan akan jatuh pada penilaian-penilaian palsu, kehadiran-kehadiran palsu, sekaligus pencapaian-pencapain palsu.

Menyikapi fenomena tersebut, skeptisme agaknya menjadi tawaran yang lebih penting untuk dikedepankan ketimbang penerimaan dan pengapresiasian.

Terlebih lagi bila kehadiran konten-konten dari guru tersebut dimaksudkan sebagai ranah evaluasi, asesmen, dan praktik baik.

Bagaimana jika saat camera off ternyata kondisi kelasnya jauh lebih amburadul ketimbang apa yang dicitrakan? Dampak dari itu akan jauh lebih rumit, parah, dan manipulatif.

Belum lagi bila sampai citra-citra tersebut dijadikan sebagai parameter, paradigma, dan kebenaran baru dalam penilaian mutu keguruan dan pendidikan.

Hal paling berharga dari belajar, yakni kesalahan, kekeliruan, dan ketidaktahuan akan hilang. Kita akan masuk dalam ruang-ruang penuh pencapaian palsu.

Disepakati atau tidak, bahwa sesungguhnya tidak ada nilai dari suatu hal yang sudah dikondisikan baik, selain keberanian mengatakan apa ini palsu? Mana yang asli? Bukankah evaluasi, asesmen, dan praktik baik perlu mengedepankan kejujuran dan keterbukaan?

Kembali ke pertanyaan awal, maksud baik tersebut untuk siapa dan apa? Apa yang terjadi ketika camera off? Bagaimana kondisi back stage dari citra tersebut?

Skeptisme

Bukan persoalan lama kalau kita mencermati lebih ke belakang. Dramaturgi Guru Konten Kreator hanyalah remahan kecil.

Keadaan pembangunan pendidikan nasional hari ini juga telah mengalami dramaturgi tersebut.

Seperti yang dikatakan Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa penyelenggara pendidikan nasional seolah sedang menampilkan dramaturgi kemerdekaan pendidikan.

Di panggung depan, penyelenggaraan pendidikan seolah-olah tampak merdeka dengan melabeli seluruh kebijakannya dengan kata “merdeka”.

Padahal di layar belakang berbagai problematika pendidikan yang kerap tertutupi oleh tirai dengan rapat (Kompas, Dramaturgi Kemerdekaan Pendidikan).

Kalau sudah begini, sikap skeptis rasanya adalah tawaran paling relevan. Sebab, skeptisme akan membawa kita pada penundaan.

Karakter media sosial yang penuh dengan perekayasaan, pengondisian, dan pengidealan hanya bisa dibongkar secara perlahan dengan kecurigaan yang bertanggung jawab.

Kecurigaan dalam skeptisme harus kita pahami sebagai alat dan filter. Terlebih lagi dalam belantara jagad digital, saat segala makna mengetuk pintu pikiran kita tanpa permisi. Sehingga lapis demi lapis makna di back stage perlahan akan tersingkap.

Sekali lagi tentu, tidak bermaksud menaruh kecurigaan berlebih, menurut hemat saya justru dengan berskeptisme kita akan mendapat pembacaan baru, berulang, dan mendalam. Fenomena guru konten kreator pada akhirnya juga perlu kita skeptiskan.

Tidak ada yang salah dalam “berbagi praktik baik.” Terlebih lagi namanya juga sudah “praktik baik,” bahkan dalam dogma sosial, kita memang harus berbagi praktik baik.

Namun, ketika hal tersebut telah diputuskan masuk ke ranah media sosial dan masyarakat jaringan–yang dimana semua adalah pengondisian, skeptisme menjadi relevan sebagai filterisasi pesan.

Karena tentu, kita semua tidak ingin mendapat pendidikan dan pembelajaran yang penuh dengan kepura-puraan.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/11/05/080000271/dramaturgi-guru-konten-kreator--antara-pendidikan-dan-godaan-citra-diri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke