Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kepedulian dan Inisiatif Perubahan Iklim: Orang Muda Kini, Yuk Bisa Gerak Yuk!

KOMPAS.com - Berbagai literatur menyatakan sejak awal tahun 2000 suhu bumi telah naik sebesar 1,1 derajat celsius. Hal ini sangat berdampak terhadap berbagai peristiwa alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, mencairnya es di kutub dan berbagai ketidakseimbangan ekologi lainnya.

Pemanasan global kini semakin kita rasakan dampaknya.

Berdasarkan data BBC.com, nyatanya dampak pemanasan global yang terjadi saat ini disebabkan karena berbagai aktivitas penduduk bumi yang berkontribusi di atas 90 persen terhadap ketidakseimbangan ekosistem bumi saat ini.

Sebut saja aktivitas seperti penumpukan dan produksi sampah, pembakaran energi fosil untuk transportasi dan industri, penebangan hutan, pemancingan skala besar hingga peternakan hewan berskala besar.

World Meteorological Organization (2021) lalu menyatakan gletser Puncak Jaya di Papua merupakan satu-satunya gletser tropis, berada di Pegunungan Himalaya dan Andes yang masih tersisa, diprediksi akan menghilang dalam 5 tahun ke depan.

Pandemic Talks juga menyatakan rata-rata permukaan laut global adalah salah satu indikator iklim global utama. Bahkan rata-rata permukaan laut global telah mencapai rekor tertinggi baru ditahun 2021 ini.

Mari kita terus gaungkan kepedulian dan gerakan sadar iklim, Indonesia milik kita bersama yang harus dijaga. Siapa lagi kalau bukan generasi mudanya.

Kita bisa melihat berbagai fenomena ekstrem terjadi ditengah kita, seperti gelombang panas hingga lebih dari 50 celcius di California dan Italia, curah hujam dan banjir bandang di Tiongkok, Belgia dan Jerman.

Ratusan saudara kita tengah terdampak bencana hidrometeorologi (bencana karena perubahan iklim).

Beberapa waktu terakhir, dunia terpaku hanya pada satu hal, yaitu bagaimana negara-negara dunia menunjukkan komitmen konkritnya terhadap penyelesaian perubahan iklim. Dari KTT G-20 hingga COP26, isu ini menjadi perhatian seluruh masyarakat global tanpa terkecuali.

Keputusan para pejabat elit dunia inilah yang akan menentukan nasib Bumi: apakah kita bisa menahan laju kenaikan suhu di bawah 1,5 celsius atau tidak.

Namun, banyak yang pesimis terhadap hasil akhir pertemuan tersebut, khususnya pemuda.

Demonstrasi yang terjadi sepanjang pertemuan mengungkapkan semuanya. Banyak yang kecewa, karena para pemimpin dunia dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan global terkait penyelamatan lingkungan secara konkrit.

Yang menarik adalah, terlepas dari hasilnya, apa yang dilakukan pemuda selanjutnya?

Pemuda dalam isu perubahan iklim

Pangeran Charles, yang ikut menghadiri KTT G-20, mengatakan, “Quite literally, it is the last chance saloon. We must now translate fine words into still finer actions."

Pernyataannya sangat tegas, penuh urgensi, serta kekhawatiran yang mendalam. Pernyataan Pangeran Charles ini menegaskan bahwa perubahan iklim semakin menjadi ancaman jika kita tidak segera menemukan solusinya.

Apalagi, para ilmuwan mengatakan kalau kita hanya punya satu dekade untuk menekan laju kenaikan suhu. Singkatnya, kita ada dalam titik kritis.

Toby Ord mengatakan dalam bukunya "The Precipice", sekarang umat manusia berada dalam resiko tinggi menghancurkan dirinya sendiri. Perubahan iklim menjadi permasalahan yang bisa membawa manusia kehilangan potensi jangka panjangnya untuk berkembang.

Kemungkinan tersebut akan semakin besar jika dunia membiarkan perubaham iklim tanpa adanya penyelesaian. Dengan kata lain, sekaranglah saatnya bagi kita untuk bertindak mencegah bencana eksistensial ke depannya.

Tetapi, sampai saat ini, belum ada komitmen penting dihasilkan. Meski pada KTT G-20 Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan situasi sekarang lebih baik karena AS kembali masuk dalam isu ini, tapi tidak bisa menjamin apakah kita bisa menahan laju kenaikan suhu sesuai dengan angka di Perjanjian Paris.

Persoalannya adalah political will: apakah sebuah negara mau merealisasikan komitmen yang telah diucapkan atau tidak.

Terlalu banyak kepentingan dan aktor, mulai dari energi, porsi tanggung jawab, mekanisme pembiayaan, dan masih banyak lagi sehingga menyulitkan terjadinya kesepakatan-kesepakatan konkrit dan vital.

Selain itu, ada hal lain yang penulis perhatikan dalam perkembangan isu ini, yaitu kurang diakomodirnya sudut pandang pemuda. Ini menarik, karena isu perubahan iklim berada di tempat ‘spesial’ di hati mereka dan berdampak langsung pada kehidupan pemuda di masa depan.

Ada banyak alasan yang membuat banyak pemuda ikut dalam gerakan perubahan iklim, seperti demonstrasi yang terus terjadi di Glasgow.

Efek perubahan iklim ini baru akan terlihat berangsur-angsur dalam beberapa tahun mendatang, sehingga belum dirasakan banyak pihak. Namun, ketika sudah terlampau parah, konsekuensinya akan sangat besar dan bisa menimbulkan krisis global di kemudian hari.

O’brien, et.al (2018) mengatakan masa depan pemuda hari ini sebagian besar akan diputuskan generasi yang akan menghilang sebelum dampak buruk perubahan iklim dirasakan. Perlu digarisbawahi bukan generasi sekarang yang merasakan dampak dan menghadapinya langsung, tetapi generasi masa depan.

Karena itu, masalah perubahan iklim melibatkan banyak generasi, baik itu yang hidup di zaman ini maupun yang akan lahir di kemudian hari. Sebuah tanggung jawab yang mahaberat jika dari sekarang tidak diselesaikan.

Sayangnya, masih banyak pemuda yang tidak dilibatkan dalam diskusi perubahan iklim. Dan ini pun yang menjadi kekesalan banyak aktivis lingkungan muda.

Banyak pemuda yang merasa 'lucu' karena diskusi dilangsungkan tanpa melibatkan mereka. Padahal, pemudalah yang akan merasakan dampaknya. Seperti contoh, Kevin Patel, aktivis asal Los Angeles yang kesal karena suara pemuda tidak didengar.

Padahal, mereka sudah membayar mahal untuk bisa ada di COP26 dan bertemu para pemimpin dunia. Pemuda tidak dibiarkan untuk menceritakan kisahnya di proses negosiasi.

Oleh karena itu, demonstrasi yang berlangsung saat COP26 menunjukkan bagaimana perubahan iklim menjadi medan perjuangan bagi pemuda.

Hal yang sama juga diungkapkan Mathani Mudatir, aktivis perempuan asal Sudan. Dia meminta agar para pemimpin dunia mengakui pemuda sebagai aktor yang terdampak dan memberikan dukungan kepada mereka agar suara dan keluh kesahnya terdengar sampai ke telinga publik.

Dan masih banyak lagi para aktivis muda yang ingin suaranya didengarkan oleh para pemimpin global. Dan hal ini wajar karena nantinya, nasib Bumi berikutnya tergantung pada mereka.

Karena itu, mereka terus berdemonstrasi agar suaranya terdengar. Bahkan, mereka menganggap COP26 sebagai kegagalan karena tidak menghasilkan komitmen kuat.

Selain itu, pemuda juga mengkritis bagaimana para pemimpin dunia tidak mampu “memadamkan api” yang telah menjalar di planet bumi. Pemuda menganggap para pemimpin dunia masih mementingkan keuntungan ekonomi.

Perjuangan yang sudah ditentukan

Ada dua skenario yang bisa penulis bayangkan. Jika nantinya tidak ada kesepakatan yang real dan kuat, maka medan perjuangan pemuda mahaberat. Sebaliknya, apabila COP26 menghasilkan keputusan penting, tugas pemuda jadi lebih ringan, meski tetap berat.

Terlepas apakah nanti para pemimpin dunia menemui kesepakatan atau tidak, ada satu hal yang pasti, yakni terciptanya narasi global untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Oleh karena itu, apapun hasilnya, pemudalah yang akan berjuang menyelamatkan bumi.

Penulis masih terngiang-ngiang dengan pidato emosional Greta Thunberg dua tahun lalu kepada para pemimpin dunia. Dia mengucapkan satu kalimat yang menusuk di hati, "You have stolen my dreams and my childhood with your empty words."

Sehingga, ketika negara-negara besar gagal menghasilkan komitmen penting, para pemuda akan mengartikan hasil tersebut sebagai tanda bahwa para pemimpin telah merenggut masa depan mereka. Mau tidak mau, pemudalah yang akan berjuang di garis depan.

UNDP dan Universitas Oxford pada Januari tahun ini mengeluarkan survei yang menunjukkan bagaimana sentimen atau kepercayaan publik terhadap dampak perubahan iklim.

Hampir semua masyarakat global, dari berbagai generasi, memiliki tingkat kepercayaan bahwa perubahan iklim adalah darurat global. Perbedaannya tak terlalu jauh: 74persen masyarakat di negara kepulauan dan 72 persen masyarakat di negara maju percaya akan darurat iklim.

Masyarakat di negara yang tergolong middle-income dan berkembang juga punya kepercayaan yang cukup tinggi, yakni masing-masing di angka 62 persen dan 58 persen.

Selain itu, terkait pemuda Indonesia, ada hasil survei menarik dikeluarkan Indikator Politik Indonesia pada Oktober lalu. Mereka menemukan 81 pemuda

Indonesia lebih memprioritaskan lingkungan meskipun ekonomi melambat. Jika dilihat secara global, sentimennya sama dengan pemuda Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pemuda takut dengan dampak perubahan iklim.

Survei dari Universitas Bath berkolaborasi dengan lima universitas yang menyasar sepuluh negara mengungkapkan bahwa hampir 60 persen pemuda khawatir dengan dampak perubahan iklim.

Bahkan, 56 persen pemuda dengan berani mengklaim umat manusia akan hancur di masa depan.

Data-data ini menunjukkan bagaimana isu perubahan iklim telah terpatri dalam benak pemuda. Mereka tahu bahwa planetnya akan hancur jika tidak ada solusi untuk menyelesaikannya.

Dari kejadian COP26 dan tahun-tahun sebelumnya pun juga menggarisbawahi bagaimana narasi global menjadi terpusat pada bagaimana menyelematkan bumi, terlepas COP26 menghasilkan sesuatu atau tidak.

Pemuda sadar bahwa persoalan iklim tidak akan selesai dalam waktu singkat. Sehingga, aksi yang keberlanjutan perlu digalakkan untuk memastikan Bumi tetap layak huni. Pemudalah yang akan mengemban tanggung jawab itu, bukan generasi sekarang.

Pemuda yang nantinya merasakan dampak langsung dari perubahan iklim, dan konsekuensi dari tindakan serta kebijakan para elit dunia. Sehingga, dalam isu ini pemudalah yang menjadi stakeholder terpenting, terutama yang terlibat di gerakan iklim.

Menurut Han & Ahn (2020), suara pemuda mewakili konstituen yang lebih luas, termasuk buruh, guru, dan kelompok lingkungan yang ada, sebagai mitra kerja sama dan membentuk jaringan luas untuk menghentikan perubahan iklim.

Oleh karena itu, bagi pemuda, urgensi perubahan iklim saat ini jauh melebihi kepentingan ekonomi, melainkan kelangsungan hidup kita di Bumi dan bagaimana mereka hidup nantinya di masa depan.

Terlebih, Bumi masih menjadi satu-satunya planet yang bisa menopang kehidupan manusia. Sebesar itulah beban para pemimpin dunia saat ini. Sebesar itulah kekhawatiran pemuda di seluruh dunia.

Pemuda dan iklim dunia masa depan

Narasi global akan terpusat isu perubahan iklim dan pemuda memiliki peran sentral untuk memastikan Bumi tetap layak huni. Terlepas apakah para pemimpin dunia mencapai suatu kesepakatan atau tidak, pemudalah yang memikul tanggung jawab besar.

Bagaimana kontribusi mereka akan menjadi pusat perhatian banyak pembuat kebijakan, ilmuwan, dan politisi. Namun, pertanyaannya bukan apa yang bisa mereka lakukan, tetapi jalur mana yang pemuda pilih untuk menjadi ladang perjuangan mereka.

Kita telah melihat banyak pemuda mencoba memberikan kontribusi nyata untuk lingkungan, baik itu di tingkat lokal sampai global. Contoh paling nyata adalah Greta Thunberg yang menjadi aktivis dan menjadi pembicara yang menyuarakan kegelisahan pemuda.

Tentu, masih banyak lagi Greta-greta di seluruh negeri yang tidak terekspos media.

Di Indonesia pun juga sudah banyak yang melakukan sesuatu untuk lingkungannya. Mereka banyak bergerak di komunitas yang bersentuhan langsung ke masyarakat.

Ada komunitas Waste Hub, Transformasi Hijau, Jakarta Green Monster, Greeneration, Backsil Move, Zero Waste Indonesia, Jakarta Birdwatcher’s Society, KOPHI, Mangrove Action-Project, Teens Go Green, Greeneration, River for Life, Gerakan Diet Kantong Plastik, Greenpeace Indonesia, Sustaination, Lindungi Hutan, Youth for Climate Change Indonesia (YFCC Indonesia), Makassar/Bandung Berkebun, Pohon Inspirasi, Kebun Kumara, hingga Komunitas Pencinta Kertas.

Semua komunitas ini punya caranya sendiri dalam melestarikan lingkungan dan menyelamatkan Bumi dari krisis.

Jangan lupa kolaborasi, berkoordinasi dan berkomunikasi agar tantangan terasa lebih ringan karena dilakukan bersama-sama anak muda diberbagai daerah. Semua harus turun tangan, bergandengan tangan, menurunkan ego komunitas masing-masing untuk kepentingan yang lebih besar. Masa depan kehidupan bangsa ini.

Tentunya, ini baru segelintir di antara banyaknya komunitas yang mengedepankan isu lingkungan di Indonesia. Dari komunitas ini kita belajar bagaimana para pemuda telah mengambil peran nyata untuk melestarikan lingkungan sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya.

Bagi mereka, lingkungan adalah komponen terpenting dalam kehidupan. Tanpanya, manusia tidak bisa hidup di dalamnya. Terlebih, sepanjang sejarah manusia, kita selalu mengandalkan lingkungan untuk bertahan hidup sehingga pemuda merasa memiliki tanggung jawab moral menjaganya.

Selain itu, kontribusi yang mereka lakukan juga tidak hanya sebatas di ranah komunitas, tetapi ada juga yang bergerak di bidang wirausaha sosial. Mereka mencoba melestarikan lingkungan dan menjadikannya sebagai model bisnis yang kreatif dan inovatif.

Misalnya, ada Waste4Change dan Smash, dua bentuk wirausaha sosial yang mencoba berkontribusi di bidang energi dan lingkungan. Selain itu, pemuda juga menerapkan sikap-sikap cinta lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya, memakai kembali barang yang bisa di daur ulang, dan lain-lain.

Masih banyak peran pemuda yang bisa dilakukan. Di Indonesia saja sudah banyak yang melakukan gerak langkah. Kalau kita bicara dunia, akan jauh lebih banyak lagi jumlah pemuda yang bergerak menyelamatkan lingkungan.

Terlebih, kesadaran untuk merawat lingkungan semakin merasuk ke dalam jiwa pemuda di seluruh dunia.

Dalam beberapa waku ke depan, akan ada banyak kolaborasi antar pemuda lintas negara yang dilakukan untuk membuat sebuah gerakan masif dengan karya yang inovatif. Kolaborasi ini memungkinkan, terutama dengan teknologi yang terus berkembang dan media komunikasi yang membuat kita bisa berhubungan tanpa kenal jarak dan waktu.

Singkatnya, pemuda nantinya akan menjadi aktor utama dalam hal apapun, termasuk penyelesaian krisis iklim. Perlu lebih banyak yang bersuara bergerak nyata daripada sekedar berwacana.

Suara pemuda perlu didengar oleh pemerintah saat ini dan mereka bisa menceritakan sudut pandangnya tentang krisis iklim. Karena saat ini, suara pemuda mewakili jeritan Bumi Pertiwi.

Mari kita sadari dan lakukan Langkah nyata agar krisis iklim dapat kita kurangi dampaknya, mulai dari yuk kita rubah perilaku kita memperlakukana alam semesta ini.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/30/090529671/kepedulian-dan-inisiatif-perubahan-iklim-orang-muda-kini-yuk-bisa-gerak-yuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke