"Ini kabar tidak bagus bagi demokrasi, tetapi ini kabar yang bagus bagi media massa. Kenapa? Karena kelemahan media sosial ini harusnya bisa diisi media massa," tutur Agus.
Baca juga: Wapres Nilai Sudah Ada Gejala Polarisasi Jelang Pemilu 2024
Perilaku masyarakat yang hobi berkerumun dengan yang memiliki kesamaan pandangan politik umumnya terjadi di media sosial.
"Media sosial tidak bisa mendialogkan kelompok yang berbeda," kata Agus.
"Tapi biarlah itu jadi aib, jadi dosa bagi platform. Fungsi media adalah bagaimana menjembatani perbedaan politik masyarakat indonesia ini dengan pemberitaan-pemberitaan yang memungkinkan terjadinya dialog politik yang berbeda," ucapnya.
Komisioner KPI Mimah Susanti menuturkan, pihaknya harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, termasuk semakin kuatnya peran media sosial.
Mimah mengakui bahwa regulasi yang ada saat ini tidak memungkinkan KPI untuk memberikan tindakan atas konten di platform sosial yang dibuat lembaga penyiaran.
Meski begitu, KPI tetap menjalankan fungsi preemptive dan preventif terkait perilaku masyarakat di media sosial.
"Preemptive dalam cara membangun kesadaran, mempengaruhi cara pikir masyarakat bagaimana memilih dan memilah yang hoaks dan yang bukan, pemberitaan yang sesuai dengan kebutuhan, itu jadi PR kita," ujar Mimah.
Terkait fungsi preventif, KPI kerap mengingatkan lembaga penyiaran seperti televisi dan radio untuk tidak serampangan mengambil konten media sosial dalam pemberitaannya.
"Pemberitaan media sosial kadang diambil. Rekaman video (di medsos) jadi sumber utama. Jadi tidak kredibel lagi, tidak tepercaya lagi," ujar Mimah
"Karena seharusnya ada crosscheck, ada recheck. TV dan radio harus jadi penjernih, lembaga verifikasi atas informasi yang beredar," tuturnya.
Baca juga: Wapres: Strategi Polarisasi Mungkin Memenangkan Suara, tapi Merusak Negara
Senada dengan Mimah, anggota KPI Nuning Rodiyah berhadap media jurnalistik tidak hanya mementingkan banyaknya berita yang muncul saat pemilu, tanpa melakukan pemilihan informasi.
Dia menyatakan, menjelang pemilu ada kekhawatiran ranah digital seperti media sosial menjadi tempat beralihnya penyebaran informasi bohong dan hoaks.
"Pers diharap tidak hanya panen berita, namun juga punya tanggung jawab menjernihkan informasi supaya mampu menekan hoaks yang beredar," kata Nuning.
Nuning berharap, masa menjelang pemilu yang rawan hoaks perlu diantisipasi dengan pemberitaan yang jernih dan berimbang.
"Jadi kualitas pemilu kita juga ditentukan, salah satunya oleh teman-teman (media penyiaran) semuanya," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.