Pada 10 November 1945, Surabaya berubah menjadi medan tempur dahsyat ketika pesawat-pesawat Inggris menjatuhkan bom dan para pejuang Indonesia melawan sekuat tenaga.
Di Radio Pemberontakan, Tantri diminta siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris. Dia menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia kepada seluruh dunia.
Beberapa hari setelah peristiwa 10 November, Tantri menghubungi perwakilan negara-negara asing yang memiliki atase diplomatik atau komersial di Surabaya. Negara yang berhasil dihubungi yaitu Denmark, Swiss, Rusia, dan Swedia.
"Saya meminta mereka bergabung dengan siaran malam itu untuk mengecam apa yang telah dilakukan Inggris. Semuanya sepakat. Malam itu kami bercerita, dan dampaknya luar biasa. Stasiun di negara-negara lain menerima siaran itu dan memperdengarkannya. Koran-koran dari negeri seberang turut memuatnya," ungkap Tantri.
Sepak terjang Tantri membuatnya dijuluki "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya. Dia juga dianggap berbahaya oleh pihak Belanda.
Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya. Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Setelah peristiwa Surabaya, K'tut Tantri melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama tokoh-tokoh perjuangan yang lain.
Ia juga menulis artikel, salah satunya di majalah The Voice of Free Indonesia. Salah satu artikel Tantri yang membuat Belanda marah adalah "Lest We Forget" - "Agar Kita Jangan Lupa".
Sang penggugat dari Surabaya itu mengakhiri perjalanan hidupnya pada usia 99 tahun. Dia wafat di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales, pada 27 Juli 1997.
Menjelang upacara kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya.
Pada November 1998, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepada wanita yang kini bernama lengkap Ni K’tut Tantri.
Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi kedua yang dia terima bukan hanya karena keterlibatannya dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.