Dalam beberapa kasus, kelompok tersebut memiliki standar keanggotaan implisit atau eksplisit yang mendorong anonimitas.
Meski sebagian besar jaringan media sosial meminta pengguna mengisi nama dan identitas asli, pengguna menggunakan identitas yang lain dengan alasan tertentu.
Sebagian responden dalam studi tersebut beralasan bahwa mereka ingin memisahkan kehidupan online dan offline mereka.
Menggunakan akun dengan identitas lain memungkinkan pengguna terhindar secara online dari lingkar pertemanan keluarga atau rekan kerja mereka.
Baca juga: Survei Reuters: 68 Persen Masyarakat Indonesia Mengakses Berita dari Medsos
Anonimitas di jejaring media sosial berkontribusi terhadap penyebaran informasi keliru, cyberbullying, trolling, hingga ujaran kebencian.
BBC, 26 Februari 2021, melakukan survei terhadap perilaku suporter sepak bola di dunia online.
Hasilnya, dari 3.000 lebih pesan yang ditujukan kepada atlet Premier League, 56 persen di antaranya bernada rasis.
Sementara, 43 persen atlet Premier League yang disurvei mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan dan rasisme.
Baca juga: Instagram Uji Fitur Notes, Mirip IG Stories tapi Hanya Tulisan
Di sisi lain, beberapa responden CMU mengungkapkan alasan menggunakan akun anonim. Salah satunya berkaitan urusan politik.
Mereka ingin terlibat dalam debat dan percakapan seputar politik di duna maya tanpa ingin terikat tanggung jawab atas identitas mereka.
Alasan lain yang lebih personal, karena sebagian responden memiliki pengalaman negatif ketika menggunakan media sosial, sehingga memaksa mereka untuk menjadi anonim.
Kedua alasan itu relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini, terutama ketiadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi serta penerapan UU ITE yang bisa dengan mudah mengkriminalisasi warga negara karena unggahan di media sosial.