KOMPAS.com - Meningkatnya intensitas konflik bersenjata di Eropa Timur, Afrika, dan Timur Tengah, serta krisis ekonomi dunia, membuat jumlah pengungsi bertambah signifikan.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) menyatakan, jumlah pengungsi global di dunia mencapai 100 juta orang pada bulan Mei 2022.
Angka itu merupakan jumlah terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, di mana selama konflik itu tercatat 160 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
The International Committee of the Red Cross (ICRC) Indonesia menyatakan bahwa organisasi mereka turut mengupayakan perlindungan untuk pengungsi akibat perang dan konflik bersenjata, termasuk di Afghanistan dan Ukraina.
Baca juga: Jumlah Pengungsi akibat Konflik dan Perang Bertambah, Indeks Perdamaian Menurun
Di Afghanistan, ICRC berupaya menghubungkan kembali penduduk dengan anggota keluarga yang tercerai-berai karena mengungsi, bekerja sama dengan perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Di Ukraina, bersama PBB dan pihak yang berkonflik, mereka berupaya menyediakan tiga perlintasan aman untuk warga sipil yang ingin mengungsi atau keluar dari Kota Mariupol dan wilayah sekitarnya.
UNHCR menyebutkan, perang Rusia dan Ukraina menjadi konflik tercepat setelah Perang Dunia II, dalam menghasilkan pengungsi yang keselamatannya terancam dan memilih pergi dari tempat tinggalnya.
ICRC Indonesia juga menyebutkan bahwa data dari PBB memperlihatkan jumlah pengungsi di Ukraina adalah 14 juta orang.
Hampir 7 juta di antaranya telah menyeberang ke negara tetangga, dan 2,1 juta sudah kembali ke Ukraina. Sebanyak 8 juta orang memilih mengungsi ke kota lain di dalam negeri.
Baca juga: Kisah Pengungsi Ukraina yang Pilih Pulang Meski Perang Belum Berakhir
ICRC bersama Palang Merah Ukraina telah menyediakan berbagai bantuan, termasuk 3.000 ton bantuan kemanusiaan kepada korban perang Rusia dan Ukraina.
Terkait dampak meningkatnya jumlah pengungsi global pada Indonesia, ICRC menyatakan hal itu sulit diprediksi, selain organisasi mereka tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan dampak aliran migrasi terhadap Asia Tenggara.
Namun, yang menurut mereka perlu dipahami adalah mengungsi merupakan satu-satunya pilihan bagi penduduk di wilayah berkonflik, agar mereka tetap selamat.
"Kami berupaya untuk bekerja dengan negara-negara, dan mengingatkan mereka tentang kewajibannya terhadap para migran, baik menurut hukum domestik maupun internasional, juga atas tanggung jawab mereka untuk menjamin keselamatan dan menegakkan hak semua orang berdasarkan yurisdiksi mereka terlepas dari status keimigrasian," bunyi keterangan ICRC tersebut.