KOMPAS.com - Saat Ramadhan, konsumsi daging sapi cenderung meningkat di kalangan masyarakat.
Daging sapi menjadi salah satu sumber protein hewani favorit yang dicari sebagai menu sahur maupun berbuka puasa.
Namun sayangnya, peningkatan permintaan itu tak diimbangi dengan ketersediaan stok.
Akibatnya, beberapa oknum memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual daging sapi gelonggongan.
Guru Besar Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Hewan Unair, Mustofa Helmi Effendi memaparkan alasan mengapa masyarakat berhati-hati terhadap daging sapi gelonggongan.
Baca juga: Permintaan Tinggi, Harga Gula Pasir hingga Daging Sapi Melonjak Jelang Puasa
Dikutip dari laman resmi Universitas Airlangga, Jumat (1/4/2022), daging gelonggongan atau penggelonggongan daging dilakukan dengan memasukkan air sebanyak-banyaknya pada sapi hidup. Praktik ini membuat sapi menjadi kesulitan berdiri secara normal.
Helmi mengungkapkan bahwa praktik penggelonggongan merupakan salah satu bentuk pelanggaran animal welfare (kesejahteraan hewan).
"Sapi akan menjadi sulit berdiri akibat penekanan sistem otot hingga hanya bisa terbaring. Ini yang akhirnya menjadi alasan peternak untuk segera menyembelih hewan," terang Helmi.
Jika tak ditindak secara tegas, praktik ini akan merugikan masyarakat luas. Pasalnya, itu dilakukan untuk menambah berat daging saat dijual.
Baca juga: 2 Cara Olah Daging Sapi Supaya Empuk, Arah Potong Berpengaruh
Menjelang Ramadhan, daging gelonggongan biasanya akan marak diperjualbelikan.
Agar terhindar dari daging gelonggongan, Helmi meminta masyarakat untuk memperhatikan ciri fisik daging sebelum membelinya.
Seperti definisinya, daging sapi gelonggongan bisa diketahui dari fisiknya, yakni melalui rembesan air dari daging yang cukup banyak.
Jika daging sapi gelonggongan disentuh, tekstur daging terasa lebih lembek dan warnanya lebih pucat.
"Biasanya dalam satu kilogram daging sapi gelonggongan terdapat kandungan 300 gram air di dalamnya," papar Helmi.
Saat membeli daging, masyarakat disarankan untuk membeli daging yang digantung.