Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Banyak Wanita Korea Selatan Memilih Tidak Memiliki Anak?

Kompas.com - 04/03/2024, 09:30 WIB
Laksmi Pradipta Amaranggana,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura mengalami ancaman kekurangan penduduk dengan semakin sedikitnya bayi yang dilahirkan.

Sementara di sisi lain, penduduk yang menua semakin banyak.

Dikutip dari Kompas.id, Korsel bahkan mencatatakan rekor terendah angka kelahiran total (total fertility rate) pada 2023 dengan 0,72.

Artinya, seorang perempuan di Korsel melahirkan tak sampai satu anak selama masa reproduksinya.

Apabila kondisi ini terus terjadi, diperkirakan Korsel akan kehilangan separuh populasinya dari saat ini dalam 75 tahun mendatang.

Baca juga: Atasi Resesi Seks, Korsel Bayar Pembekuan Sel Telur dan Gelar Kencan Massal

Respons pemerintah

Pemerintah Korsel bukannya tanpa usaha untuk mengatasi ancaman tersebut.

Dikutip dari BBC, selama hampir 20 tahun Pemerintah Korsel telah menggelontorkan dana hingga 379,8 triliun won atau sekitar Rp 4.456 triliun.

Bantuan diberikan pemerintah kepada pasangan yang memiliki anak berupa uang tunai. Mulai dari bantuan bulanan, perumahan subsidi, hingga taksi gratis.

Tidak hanya itu, tagihan rumah sakit dan prosedur bayi tabung juga ditanggung pemerintah.

Namun, insentif finansial tersebut dinilai masih kurang berhasil sehingga politisi mengusulkan sejumlah solusi.

Seperti mengecualikan pria dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak sebelum mencapai usia 30 tahun.

Alasan wanita Korsel ogah punya anak

Perempuan Korsel termasuk perempuan yang berpendidikan paling tinggi di antara negara-negara OECD.

OECD adalah Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

Meskipun termasuk berpendidikan tinggi, Korsel mempunya kesenjangan upah antargender yang paling buruk.

Sejumlah peneliti mengatakan, hal ini yang membuat perempuan Korsel dihadapkan pada pilihan antara memilih karier atau memiliki keluarga. Sebagian besarnya memilih karier.

Seorang produser televisi, Yejin (30) memutuskan untuk hidup sendiri di usia pertengahan umur 20-an.

Ia juga memutuskan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak (childfree) sejak lima tahun lalu.

“Sulit untuk menemukan laki yang hanya ingin berdua dan tidak punya anak. Ketika punya anak, banyak laki-laki yang tidak mau berbagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak secara setara,” ungkap Yejin.

Baca juga: Resesi Seks, 68 Persen Pasutri di Jepang Tidak Berhubungan Intim

Stigma masyarakat

Tak hanya itu, Yejin mengungkapkan bahwa perempuan yang menjadi orang tua tunggal juga dianggap buruk oleh masyarakat umum.

Dia juga memiliki ketakutan ketika menikah dan harus mengambil cuti untuk memiliki anak, hal itu bisa berisiko untuk tidak dapat kembali bekerja.

“Ada tekanan tersirat dari perusahaan bahwa ketika kami mempunyai anak, kami harus meninggalkan pekerjaan kami,” ucap Yejin.

Selama hidupnya, Yejin sudah pernah melihat hal ini terjadi pada saudara perempuannya dan dua presenter berita lainnya.

Seorang perempuan berusia 28 tahun yang bekerja sebagai staf Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) mengungkapkan, ia pernah melihat orang yang terpaksa keluar dari pekerjaannya atau tidak mendapat promosi setelah mengambil cuti hamil.

Hal ini didukung dengan data bahwa hanya 7 persen laki-laki yang baru memanfaatkan cuti melahirkan, sedangkan 70 persen perempuan akan mengambil cuti yang sama.

Baca juga: Resesi Seks, Ini Alasan Mengapa Banyak Orang Jepang Memilih untuk Tidak Punya Anak

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com