Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gurgur Manurung
Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI

Alumni Pasca Sarjana IPB Bogor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Pupuk Satu Harga demi Keadilan bagi Petani dan Ketahanan Pangan

Kompas.com - 06/10/2022, 11:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, telah meminta agar kita berhati-hati menghadapi ancaman krisis pangan dunia.

Namun, di sisi lain pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuang, belum melunasi public service obligation (PSO) atau dana subsidi pupuk ke PT Pupuk Indonesia. Perusahaan itu  ditugaskan negara untuk membantu para petani.

Selain belum dilunasi, pupuk yang disubsidi negara acapkali juga diselewengkan. Padahal, hanya 40 persen pupuk subsisi yang tersedia dari total kebutuhan pupuk subsidi untuk petani sebesar 25 juta ton.

Bagaimana agar pupuk bersubsidi tepat sasaran atau tidak terjadi penyelewenagan dalam penyalurannya?

Baca juga: Soal Kebijakan Subsidi Pupuk, Guru Besar IPB Nilai Masih Diperlukan dan Disempurnakan

Di masa Orde Baru, isu yang beredar adalah pupuk dari kebun milik pemerintah dijual ke petani. Akhir-akhir ini, isu yang beredar adalah pupuk bersubsidi masuk ke kebun milik pemerintah. Dengan kata lain, distribusi pupuk subsidi lekat dengan isu terjadinya penyelewengan.

Kementerian Pertania mengatakan, petani kita membutuhkan 25 juta ton pupuk bersubsidi setiap tahun. Namun yang bisa disediakan pemeritah hanya  9,5 juta ton setahun atau sekitar 40 persen.

Dengan kondi seperti itu, siapakah yang berhak mendapat yang 40 persen itu? 

Di seluruh negeri para petani menjerit, menunggu pupuk subsisi yang tak kunjung tiba. Akibatnya petani mengalami gagal panen. Kondisi gagal panen sangat merugikan petani.

Berbagai cara dilakukan orang karena adanya disparitas harga antara pupuk subsidi dengan yang tidak disubsidi.

Syarat petani yang berhak memperoleh pupuk bersubsidi adalah luas lahan maksimal dua haktare dan petani harus masuk dalam kelompok tani. Persyaratan ini, di lapangan, dapat dimanipulasi, terutama terkait kelompok tani.

Siapa saja yang boleh menjadi anggota kelompok tani? Berapa jumlah petani kita yang mampu membentuk kelompok tani dengan membuat akte notaris?

Petani miskin yang seharusnya paling berhak mendapat subsidi pupuk justru kalah bersaing dengan mereka yang bukan petani, tetapi mampu membuat kelompok tani, lengkap dengan akte notaris.

Pegawai bank, guru, karyawan swasta, atau pebisnis bisa saja masuk dalam kelompok tani karena mereka mengerti cara membuat kelompok tani. Merekalah yang menikmati pupuk bersubsidi.

Kendala lain adalah terkait kemampuan keuangan para peserta yang masuk data untuk mengambil pupuk. Petani tidak menebus karena tidak melakukan penanaman, sewa garapan petani tidak diperpanjang, jatah mengecil sehingga ongkos menjemput pupuk jadi mahal, atau petani tidak sanggup membeli pupuk walaupun sudah disubsidi.

Masih ada lagi kendala terkait masalah alokasi seperti alokasi SP-36 diperuntukkan hanya untuk petani hortikultura, tidak terdapat alokasi SP-36 bagi petani padi dan jagung, berkurangnya alokasi di wilayah-wilayah yang serapannya tinggi, penebusan manual yang tidak dapat diwakilkan, musim tanam, penentuan e-RDKK (e –Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok), Kartu Tanda Penduduk (KTP), kios yang terlambat dalam penyediaan stok, dan berbagai kendala lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com