Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Riset dan Kendali Risiko Sampah Plastik di Laut

Kompas.com - 23/03/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 11 Februari 2022 melalui kanal YouTube Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (RI), Presiden Joko Widodo (Jokowi) merilis komitmen target konservasi perairan laut seluas 32,5 juta hektare (ha) tahun 2030 pada One Ocean Summit 2022.

Kini perhatian dunia tertuju ke laut sebagai sumber pasokan pangan, energi, dan upaya mitigasi atau kendali risiko-risiko pemanasan global atau perubahan iklim. Khusus Indonesia, akhir Januari 2019, pers dunia mulai menyoroti sampah plastik di negeri ini. Pemerintah membangun kesadaran lingkungan atau kultur daur-ulang sampah di zona Indonesia. Total penduduk 260 juta jiwa, 714 suku dan 1.100 lebih bahasa daerah, awal abad ini tersebar pada sekitar 17.000 pulau, 34 provinsi, 514 kabupaten dan kota.

Baca juga: Bahaya Sampah Plastik bagi Lingkungan

Pada 13 Februari 2015, sejumlah ahli sampah asal Amerika Serikat (AS) dan Australia
merilis hasil riset di jurnal Science dengan judul Plastic waste inputs from land into the ocean. Laporan riset itu menyebut, separuh dari 3,2 juta ton sampah plastik di seluruh Indonesia per tahun migrasi dari daratan masuk ke laut Indonesia. Tim peneliti itu berasal dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset.

Para ahli itu berupaya meneliti dan mengkaji data sampah, kepadatan penduduk, dan status ekonomi guna menghitung massa sampah plastik dari darat ke laut. Tim ahli itu meneliti dan mengkaji 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik pada pantai 192 negara tahun 2010. Hasilnya, sekitar 4,8 – 12,7 juta MT sampah plastik masuk ke laut.

Penelitian tim ahli itu menemukan bahwa kepadatan penduduk dan kualitas sistem manajemen daur-ulang sampah, sangat menentukan jumlah sampah hanyut dari darat ke laut (Science, 2015).

Maka langkah sangat jitu, jika Pemerintah Indonesia berhasil mengurangi sekitar 70 persen sampah plastik di laut tahun 2025 dengan biaya sekitar satu miliar dollar AS per tahun (Yuddy Cahya, et al., 2019).

Baca juga: Sampah Plastik di Laut Bikin Kelomang Tak Bisa Kenali Makanannya

Akhir-akhir ini, para ahli di berbagai negara sangat peduli risiko aliran sampah plastik ke laut. Misalnya, tim peneliti University of Georgia (Amerika Serikat) mengkaji dampak kebijakan Tiongkok (“National Sword”) tahun 2017 yang melarang impor sampah plastik non-industri sejak Januari tahun 2018.

Hasilnya, diperkirakan lebih dari 100 juta MT plastik per tahun skala global akan berkurang, akibat kebijakan itu. Hasil riset itu dirilisScience Advances edisi Juni 2018.

Penelitian tentang penyu

Sejumlah ahli juga giat meneliti penyu sebagai patokan kesehatan laut dan ekosistem
kelautan. Misalnya, biolog kelautan Jennifer Lynch dari National Institute of Standards and Technology (NIST) di Amerika Serikat (AS), berupaya mengkaji lebih dari 100 riset tentang penyu selama 50 tahun terakhir di seluruh dunia.

TabelAFP Tabel
Penyu hidup lama di berbagai zona kelautan Bumi. Beragam spesies penyu hidup pada kedalaman berbeda di laut. Penyu sering makan yang bukan jenis pangan, seperti sampah plastik. Menurut riset Lynch (2018), metrik analisis penyu adalah gram sampah per kilogram (g/K) penyu sebagai indikator bagi kesehatan laut dan ekosistem kelautan.

Hasil penelitian Lynch telah dirilis jurnal Environmental Science and Technology edisi September 2018. Lynch mengkaji (meta-analysis) 131 laporan ilmiah sampah plastik dari perut penyu sejak tahun 1970.

Baca juga: Jokowi: Indonesia Berkomitmen Kurangi 70 Persen Sampah Plastik di Laut

 

Hasilnya, dua spesies penyu paling berisiko menelan sampah plastik yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) berat 150 pon dan sangat terancam punah di Atlantik dan penyu hijau (Chelonia mydas) dengan berat 350 pon, terancam punah di Atlantik dan Pasifik.

Riset dan kajian Lynch tentu sangat berguna. Sebab di zona Indonesia, misalnya tahun 2018,
pers merilis laporan tentang penyu mati dengan perutnya berisi sampah plastik antara lain awal Desember 2018, di pantai wisata Congot, Kecamatan Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada November 2018, penyu mati mengambang, akibat konsumsi sampah plastik di perairan Pulau Pari (Kepulauan Seribu Jakarta). Ini hanya contoh bahwa sampah plastik memicu risiko serius terhadap kehidupan satwa laut dan kehidupan rakyat kita.

Pemerintah Indonesia perlu memperkuat riset tentang sampah plastik di darat dan di luat. Sebab kendali risiko sampah plastik sangat urgen bagi bangsa Indonesia yang tinggal dan hidup di negara kepulauan dengan luas lautan lebih besar dari daratan.

Kita bacara hasil penelitian Dr Tommy Cedervall et al (2018) dari Lund University, Swedia, bahwa sebagian besar sampah di laut adalah plastik. Sekitar 10 persen sampah plastik di dunia masuk ke laut; risikonya adalah degradasi ekosistem kelautan akibat nano-partikel plastik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com