Suatu saat, di sebuah padang rumput yang tinggi, di mana domba dan anak-anaknya digembalakan, seekor elang sedang terbang memutar dan menatap anak domba dengan pandangan lapar.
Dan saat ia akan turun dan memangsa incarannya, elang yang lain muncul dan terbang di atas anak domba dengan pandangan penuh minat.
Lalu kedua elang itu mulai berkelahi dan memenuhi langit dengan teriakan mereka.
Dan si domba menengadah dengan terkesima. Ia berbalik ke arah anaknya dan berkata:
“Betapa anehnya, Anakku, bahwa dua burung yang terhormat ini harus saling menyerang. Tidakkah langit cukup luas untuk mereka berdua? Berdoalah, sayangku, berdoalah pada Tuhan agar kedamaian datang pada saudara-saudaramu yang bersayap.”
Dan anak domba berdoa dalam hati.
Kahlil Gibran begitu rancak menceritakan nafsu angkara perang antara dua ekor burung elang dalam karyanya “Perang dan Bangsa-Bangsa Kecil”.
Ketika elang akan mencari mangsa domba-domba kecil, ternyata para elang terlebih dulu disibukkan dengan bertarung di antara sesama mereka.
Tidak ada frasa kalah atau menang dalam sebuah perang. Semua bisa mengklaim menang atau kalah menurut versinya masing-masing.
Perang hanyalah menunda sebuah persoalan yang jauh lebih besar, yakni hilangnya martabat kemanusian.
Membayangkan perang antara Rusia dengan Ukraina yang terjadi sekarang ini, seperti menggambarkan betapa rentannya perdamaian dan kelanggengan nilai-nilai demokrasi yang telah diruwat dan dirawat selama ini.
Kemerdekaan yang diperoleh Ukraina usai bubarnya Uni Sovyet menjadi “muspro” ketika “elang” yang bernama Rusia ingin mencaplok kembali kedaulatan Ukraina.
Ketika elang Rusia menyergap Ukraina, bersegeralah “elang-elang” yang lain bernama Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman serta anggota NATO lainnya siap berduel.
Belum lagi elang Rusia bisa mengajak Chechna dan China di gerombolan yang sama.
Perang juga mengajarkan kepada kita semua, betapa kemusnahan menjadi keniscayaan. Perang tidak mengenal sekat agama, suku dan batas teritori.
Chechnya membantu Rusia, sedangkan Turki malah berpihak ke Ukraina.
Perang begitu absurb. Perang bisa melumat siapa saja. Nilai-nilai kemanusian menjadi rapuh, serapuh nafsu kekuasaan yang berkelindan dengan aneka kepentingan.
Jika dalam konteks kebangsaan, saya begitu risau dan galau dengan nasib 154 warga Indonesia yang tengah bergulat dalam ketidakpastian di Kiev, Odessa serta kota-kota yang lain di Ukraina.
Saya begitu sulit membayangkan kegamangan mereka di tengah kecamuk perang yang membabi buta. Saya sedih dengan ketersediaan pasokan pangan dan minum untuk mereka.
Sulit membayangkan proses evakuasi dari posisi safehouse di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kiev dan safehouse lainnnya menuju tapal batas di Polandia dan Rumania.
Sementara arsenal dan pesawat-pesawat Rusia memborbardir setiap jengkal tanah di Ukraina tanpa pandang bulu.
Belum lagi warga sipil Ukraina juga telah dipersenjatai sehingga konflik semakin meluas.