PEMBAHASAN RUU Cipta Kerja saat ini tengah memasuki pembahasan tingkat pertama. Polemik yang menyertai munculnya RUU ini masih terus mengemuka di publik.
Sejumlah kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) menolak keberadaan rancangan beleid ini untuk disahkan oleh DPR dan pemerintah. Sejumlah substansi dalam materi ini mendapat catatan kritis dari publik.
Namun, di sisi yang lain, belakangan muncul sejumlah riset opini publik yang mengungkapkan sebaliknya, mayoritas stakeholder menyetujui rancangan undang-undangan ini untuk segera disahkan.
Sejumlah riset opini publik itu muncul sejak Maret dan Juli ini, sedikitnya terdapat 4 (empat) lembaga survei yang secara khusus menyigi respons publik tentang RUU Cipta Kerja.
Riset yang dilakukan Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor dan Cyrus Network yang menggelar survei pada 2-7 Maret 2020 lalu mengungkapkan sebanyak 86 persen responden yang berasal dari pekerja dan calon pekerja berkeyakinan bila RUU Cipta Kerja ini mampu menciptakan lapangan kerja.
Hasil riset SMRC pimpinan Siaful Mujani juga mengungkapkan hal yang sama. Sebanyak 53 persen responden yang berasal dari kelompok pengangguran dan pencari kerja mendukung disahkannya RUU Cipta Kerja. Riset ini dilakukan pada 8-11 Juli 2020 lalu.
Riset Charta Politika juga mengungkapkan mayoritas responden yang mengetahui RUU Cipta Kerja ini sebanyak 55,5 persen mendukung agar RUU Cipta Kerja ini disahkan. Charta Politika menggelar risetnya pada 6-12 Juli 2020.
Temuan riset terbaru dari Cyrus Network mengungkapkan sebanyak 69 persen responden setuju atas keberadaan RUU Cipta Kerja.
Sebanyak 72 persen responden menilai RUU Cipta Kerja pro-investasi, 67 persen responden menilai RUU Cipta Kerja pro-UMKM dan sebanyak 64 persen responden menilai RUU ini pro-pekerja. Riset ini dilakukan pada 16-20 Juli 2020 lalu.
Munculnya riset opini publik yang khusus menanggapi sebuah rancangan undang-undang bukan kali ini saja terjadi.
Saat DPR dan pemerintah membahas perubahan UU KPK pada tahun 2019 lalu, mayoritas temuan riset mengungkapkan responden menolak perubahan UU KPK. Responden juga meyakini, perubahan UU KPK dianggap sebagai bagian pelemahan terhadap KPK.
Keberadaan partisipasi publik dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan menempati posisi yang penting.
Karenanya, dalam seluruh tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan, partisipasi publik mutlak ada. Mulai dari perencanaan dan penyiapan, pembahasan, termasuk pelaksanaan sebuah peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 96 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah menjadi UU No 15 Tahun 2019 disebutkan, masyarakat berhak menyampaikan masukan baik lisan maupun tulisan dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan.