Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fikrul Hanif Sufyan
Dosen

Penulis dan Pengajar Sejarah

Membaca Ulang Kekerasan Belanda di Situjuh Batur Tahun 1949

Kompas.com - 09/01/2024, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Wahai tuan Lurah Situjuah
Tolong pelihara pahlawan kami
Intan mutiara permata tujuh
Hadiah ke Ibu penyubur kami
(Rimba Raya Sumatra Tengah, HAMKA 1949)

DEMIKIAN petikan syair digubah oleh Hamka, untuk seorang Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) yang bernama Chatib Sulaiman.

Keduanya, pernah bekerja sama dalam wadah perjuangan - Front Pertahanan Nasional (FPN) tahun 1947, yang dibentuk dan disetujui oleh Wakil Presiden Moh Hatta dan seluruh petinggi partai politik di Bukittinggi.

Chatib Sulaiman, orang yang menginisiasi terbentuknya Badan Pengawal Nagari/Kota (BPNK) di seluruh Sumatera Barat, adalah satu dari sekian puluh korban tindak kekerasan dan kebiadaban agresor Belanda di Nagari Situjuh Batur, Kabupaten Limapuluh Kota.

Narasi ini tidak terpisahkan dari sejarah singkat dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (22 Desember 1948-13 Juli 1949).

Kisah memilukan di Situjuh Batur, bermula dari situasi yang mencekam pascapenggerebekan tentara Belanda ke Koto Tinggi pada 10 Januari 1949.

Kaum Republikein, tentara, Mobilie Brigade, Pasukan Mobil Teras, dan BPNK tidak pernah menduga, agresor Belanda bisa merangsek naik hingga ke benteng pertahanan Gubernur Militer Sumatera Tengah Mr. Sutan Moh. Rasjid.

Dalam rapat yang dihadiri Rasjid, Letkol. Dahlan Ibrahim, Mayor A.Thalib, Chatib Sulaiman, dan beberapa pejabat Sumatera Tengah berencana melakukan rapat besar, yang awalnya pada 14 Januari 1949 di Baruh Gunung, kemudian dialihkan ke Situjuh Batur pada 15 Januari 1949 (Sufyan, 2020).

Ada beberapa pertimbangan pemilihan lokasi Situjuh Batur, untuk rapat besar. Pertama, jarak 12 kilometer dari Payakumbuh, dalam catatan peserta rapat di Koto Tinggi, daerah ini belum pernah dijamah tentara Belanda.

Kedua, Wedana Militer Payakumbuh Selatan Mayor Makinuddin HS menyanggupi akomodasi dan konsumsi peserta rapat.

Ketiga, lokasinya yang strategis, memungkinkan para pejuang di Kabupaten Limapuluh Kota, Tanah Datar, Agam, dan Kota Bukittinggi untuk mendatangi lokasi rapat (Haluan, tanggal 10 April 1952).

Rapat akbar berada di Rumah Kincir di lakuak yang sempit dan dalam. Peserta rapat tidak khawatir dengan kondisi lokasi yang dirasakan aman, ditambah ketatnya pengawalan dari PMT dan barisan BPNK.

Sehari sebelumnya, penduduk Lurah Kincir juga telah bergotong royong menggali parit, meruntuhkan jembatan, dan menebang pepohonan, sehingga bisa menutupi akses masuk menuju rumah Makinuddin HS.

Rupanya rasa aman tidak menjamin keselamatan dari peserta rapat yang berasal dari luar Kabupaten Limapuluh Kota (Haluan, tanggal 15 Januari 1981).

Letkol. Dahlan Ibrahim mengawal para petinggi PDRI, mulai dari Chatib Sulaiman, Bupati Militer Kabupaten Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah, Abdullah (Partai Murba), Letkol. Munir Latif (komandan militer Painan), Mayor Zainuddin (komandan Batalion Singa Harau), Kapten Tantawi, Letnan Azinar (Batalion Merapi), dan tiga orang utusan Rasjid, yakni Syamsul Bahri, Rusli, dan Syamsuddin, dan lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com