KOMPAS.com - Museum Kebangkitan Nasional beralamat di Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh No. 26, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Seperti namanya, museum ini dibangun sebagai monumen tempat lahir dan berkembangnya kesadaran nasional serta munculnya organisasi pergerakan modern Budi Utomo.
Museum Kebangkitan Nasional menempati bekas Gedung STOVIA, atau sekolah kedokteran bumiputra yang dibangun oleh Belanda pada pengujung abad ke-19.
Bagaimana sejarah Museum Kebangkitan Nasional dan apa saja koleksinya?
Baca juga: Sejarah Museum Kretek di Kudus
Museum Kebangkitan Nasional menempati sebuah kompleks bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda yang memiliki luas 5.160 meter persegi.
Melansir laman Kemdikbud, kompleks bangunan satu lantai yang tingginya mencapai 10 meter ini dibangun atas prakarsa dokter HF Roll, Direktur Sekolah Dokter Jawa, pada 1899.
Pembangunan gedung yang sempat mandek, kembali berjalan setelah mendapatkan bantuan dari tiga orang pengusaha Belanda dari perkebunan di Deli, yaitu PW Janssen, J Nienhuys, dan HC van den Honert.
Pembangunan gedung dan asrama pelajar kedokteran selesai pada September 1901.
Pada 1 Maret 1902, gedung dengan gaya arsitektur Neo-Renaissance ini mulai digunakan sebagai sekolah kedokteran bumiputra atau School Tot Oplending Van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Pada 5 Juli 1920, pendidikan pelajar STOVIA dipindahkan ke Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Jalan Salemba (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) yang dipimpin oleh dr Hulskoff, karena sarana dan prasarananya lebih lengkap serta modern.
Baca juga: Museum Daerah Maros: Sejarah dan Koleksinya
Pemindahan itu membuat gedung STOVIA digunakan sebagai asrama pelajar saja.
Selama periode 1902 hingga 1920, banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional, di antaranya:
Pada 1925 gedung STOVIA dialihfungsikan menjadi tempat pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker.
Kegiatan pembelajaran di bekas gedung STOVIA berakhir ketika Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada 1942.
Semasa pemerintahan Jepang yang berlangsung hingga 1945, gedung ini digunakan sebagai tempat penampungan tawanan perang tentara-tentara Belanda.