BAGAIMANA pun juga, kalau berbicara tentang revolusi industri, kebangkitan seni dan ilmu, eksplorasi dunia, dan percobaan-percobaan sosial dan politik, terpaksa kita bercermin ke sejarah Eropa.
Bisa saja kita berkaca ke sejarah China, Mesir, Jepang, Korea, atau Amerika Latin. Sah-sah saja.
Namun arti penting sejarah awal demokratisasi, revolusi industri, dan perubahan sosial dan politik tidak bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa-bangsa Eropa yang mengalami gonjang-ganjing dan rela dijadikan model percobaan-percobaan.
Di sanalah berbagai kegagalan dan harapan dimulai. Negara-negara modern pasca-Perang Dunia II memodifikasi sampel.
Dari situ refleksi dan penemuan cara bermasyarakat dan bernegara di dunia bertumpu. Eropa mempunyai khazanah yang baik dan buruk untuk berkaca pada sejarah sendiri.
Sebetulnya, membaca sejarah bangsa lain itu berarti juga menimbang-nimbang sejarah sendiri. Itu juga dilakukan oleh para pemikir Eropa waktu itu dan Amerika masa kini.
Mereka belajar Mesir kuno, China, Timur Tengah, dan Asia Tenggara untuk menjadi bahan bagi kemajuan bangsa sendiri.
Para ilmuan dan cendikiawan Eropa dan Amerika menguasai pengetahuan di luar dua benua itu, karena itu mereka belajar masyarakat lain dan otomatis masyarakat sendiri.
Bagaimana agama diposisikan di Eropa bisa menjadi pelajaran berharga bagi bangsa lain.
Sekularisasi sudah menjadi tema panjang Indonesia sejak bangsa ini didirikan. Sukarno, Hatta, Agus Salim, Cokroaminoto, Supomo, Yamin semua membahasnya tanpa ragu-ragu. Dan mereka sudah mengantisipasi itu lewat jalan tengah.
Menurut rumusan para pendiri bangsa ini, sekuler yang tidak melupakan agama. Taat agama, tetapi sekuler dalam bernegara. Moderat dan jalan tengah jawabannya.
Filosofi sekularisasi sebetulnya bertumpu tidak hanya pada terjadinya pemisahan antara agama dan politik, gereja dan istana, masjid dan sultan, pure dan raja.
Namun sekularisasi juga adalah upaya memahami bagaimana kontrak sosial ditempatkan. Kontrak sosial, yang berisi kontrak politik antara penguasa dan rakyat, adalah kontrak non-religius, non-samawi, dan non-ukhrawi.
Kontrak sosial itu dilakukan antarmanusia, tanpa melibatkan Tuhan, agama, dan langit. Kontrak itu terjadi di bumi yang bisa dihukumi secara hukum bumi juga.
Pemerintah dipilih oleh rakyat, bukan Tuhan. Pemerintah silih berganti gilirannya dan ada masanya, tidak abadi seperti urusan langit dan ketuhanan. Itulah cara memahami sekularisasi yang sederhana.