Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Gareng, Petruk, dan Bagong Menghibur Diri

Kompas.com - 01/12/2023, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM epik Mahabarata sulit mencari peran warga dalam bernegara. Para tokoh-tokohnya yang diceritakan kebanyakan para raja, satria, patih, hulubalang, dan adipati.

Kisah Mahabarata bukan narasi soal rakyat, warga, atau masyarakat luas, tetapi catatan tentang para pangeran.

Di India era tiga abad sebelum Masehi, memang masyarakat seperti itu. Struktur masyarakat berkasta dari atas ke bawah secara kaku.

Urusan negara dan agama di tangan beberapa saja. Keprajuritan dan ekonomi juga. Bentuknya pun yang umum adalah kerajaan dan dinasti. Bangsawan menguasai semua. Rakyat tidak mengambil peran dalam bernegara.

Dalam kisah Mahabarata, keadaan warga sipil Astinapura dan Amarta tidak diceritakan. Bagaimana partisipasi mereka dalam bernegara, pemirsa tidak tahu.

Kurawa yang berjumlah seratus semuanya adalah para pangeran. Pandawa yang lima juga sama: ganteng, gagah, kuat, sakti, dan halus penuh dengan tata krama keraton.

Dalam waktu yang sama kunonya, uniknya demokrasi dipraktIkkan di Athena, Yunani. Polis (kota) itu melibatkan peran warga untuk bersama-sama aktif dalam menentukan kebijakan damai, kemakmuran, keadilan, dan penentuan para pemimpin mereka.

Di ekklesia (majelis pertemuan) mereka berkumpul dan berdiskusi. Tempatnya dekat dengan pasar (agora).

Masa Athena, demokrasi sudah rumit, penuh prosedur, jalan panjang, dan seringkali proses berkelok. Banyak aturan, etika, dan kesadaran menahan diri.

Kadangkala tidak seimbang dengan hasil. Toh sama saja, ya itu-itu saja. Kenapa tidak diputuskan satu orang, atau beberapa orang saja?

Tidak perlu ramai-ramai. Tidak perlu ongkos mahal, prosedur, dan proses yang melelahkan. Namun, tidak ada jalan tikus. Warga Athena sendiri kadangkala tidak sabar.

Sementara di Sparta, polis saingan Athena, warga yang terdiri dari laki-laki sekaligus anggota militer semuanya, mengadu suara keras-kerasan di majelis.

Yang paling lantang dan didengar akan menang menentukan keputusan. Teriakan beradu teriakan. Yang diam akan kalah dan dilupakan.

Sparta adalah kota dengan ukuran kekuatan, bukan kebijakan dan argumen. Sebagus apapun alasan, akal, pikiran, dan kata-kata tidak berguna tanpa kekuatan militer. Sparta adalah kota militer.

Dalam pementasan Mahabarata di Nusantara ada jembatan untuk berbincang peran warga. Unik juga versi kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com