Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

"Ecce Homo"

Kompas.com - 10/07/2023, 06:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA hal yang saya rindukan saat akan berlangsungnya "pesta" demokrasi, baik pilkada, pileg dan pilpres di Tanah Air. Yaitu menikmati semrawutnya baliho, mulai dari yang dipasang di jalan-jalan protokol, di persimpangan jalan, sampai di depan pasar baik modern ber-ac, maupun tradisional.

Saya ingat ada berbagai macam baliho bisa dinikmati. Mulai dari baliho yang memajang foto setengah badan sang calon, sampai foto utuh dari ujung sepatu ke rambut.

Tidak ketinggalan juga mereka (para calon itu) berfoto dengan berbagai macam gaya dan pakaian.

Selain nama (ditambah gelar berjajar), bubuhan berbagai macam kalimat pemanis di baliho, juga menjadi daya tarik tersendiri.

Pilihan kalimatnya pun bermacam-macam. Ada yang menggunakan kalimat singkat dan padat, ada juga agak panjang.

Bahkan, menurut saya, ada juga kalimat seperti mantra, karena kalimatnya agak panjang. Saya kadang berpikir, bagaimana orang membaca kalimat panjang itu ketika dia sedang berkendara?

Kerinduan menikmati baliho (terutama yang sedikit unik) timbul karena selama berada di Jepang, saya tidak menemukan, apalagi merasakan sensasinya.

Biasanya saat pileg atau pilkada di Jepang, hanya ada satu papan pengumuman yang sudah disediakan untuk menempel poster para calon, masing-masing berukuran kertas B4. Poster tidak boleh ditempel di tempat lain.

Baliho terkadang juga digunakan, namun ini bukan untuk dipasang permanen. Biasanya ketika seorang calon berpidato di depan stasiun maupun di suatu tempat, ada baliho berukuran tidak begitu besar dipasang di tiang yang dapat dibongkar pasang (baliho dibongkar setelah acara selesai).

Saya membicarakan baliho karena ketika melihatnya, ingatan melayang pada karya Caravaggio, pelukis Italia abad ke-16.

Lukisannya berjudul "Ecce Homo", dari bahasa Latin yang berarti lihatlah orang ini. Dia melukis Pontius Pilatus sedang menunjuk Yesus Kristus, yang dimahkotai duri saat "peradilan" di depan khalayak.

Kembali kepada baliho. Saya kemudian berpikir, jika orang-orang dari partai politik (ataupun kelompok), memasang baliho calon masing-masing dan berteriak "Ecce Homo!", lantas jawaban atau pikiran apa yang mereka harapkan dari kita?

Apakah kita harus terkesima melihat senyum lebar calon yang dipasang di baliho? Atau, kita mesti mengagumi ketampanan/kecantikannya, terlepas dari polemik photoshopped atau bukan?

Atau, mungkin ada jawaban maupun pikiran lain yang diharapkan dari kita penikmat (terpaksa) baliho?

Meskipun kerap menjadi "senjata ampuh", namun saya yakin pembaca mampu menilai seorang calon bukan hanya dari baliho saja, bukan?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com