KOMPAS.com – Rampogan Macan merupakan budaya Jawa yang sudah ada sejak masa jayanya Kerajaan Mataram Islam.
Budaya ini memiliki kemiripan dengan permainan Gladiator Romawi. Di mana satu hewan ditarungkan dengan manusia atau hewan lainnya.
Di Jawa, gambaran praktik Rampog Macan berupa pertarungan antara Harimau Jawa dengan hewan lain seperti kerbau, gajah, dan banteng.
Praktik budaya ini secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905 karena dianggap salah satu faktor penyumbang kepunahan Harimau Jawa.
Baca juga: Reog Kendang, Tercipta dari Gemblak yang Mencari Jati Diri
Tidak diketahui secara jelas kapan awal mula budaya ini berlangsung, namun dapat dipastikan budaya ini telah berlangsung sejak masa Mataram Islam.
Pertunjukan Rampogan Macan pada mulanya adalah suatu pertunjukan yang memiliki tingkat kesakralan yang tinggi dalam budaya Keraton Jawa.
Pertunjukan ini akan langsung pada saat-saat tertentu saja, misalnya pada saat kunjungan tamu-tamu kerajaan, atau perayaan hari besar Islam.
Budaya ini juga mendapat dukungan dari berbagai kerajaan, misalnya di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta pernah beberapa kali menyelenggarakan Rampog Macan. Salah satunya yang terekam sejarah adalah saat perayaan Grebeg Maulud tahun 1783.
Baca juga: 6 Tradisi Unik Penyambutan Tamu di Indonesia
Rampogan Macan kala itu dilaksanakan setelah peristiwa penusukan seorang kapten kompi Belanda oleh seorang perwira Jawa.
Pihak Belanda menganggap bahwasannya sang perwira sengaja menusuk kapten tersebut. Pihak Kerajaan kemudian meminta maaf, dan menganggap hal itu sekedar kecelakaan belaka.
Pihak Belanda pun mengamini permintaan maaf. Kemudian sebagian bentuk tanda persahabatan, dilaksanakanlah pertunjukan Rampogan Macan.
Baca juga: Reog Cemandi, Kesenian untuk Menakuti Penjajah Belanda
Rampogan Macan pada mulanya merupakan pertunjukan yang memiliki makna yang amat sakral dalam tatanan budaya masyarakat Jawa khususnya dalam Keraton Jawa.
Kuatnya pengaruh kolonial di Nusantara kala itu, sedikit banyak telah memberi pengaruh terhadap pemaknaan budaya Rampogan Macan.
Rampogan yang dulunya pertunjukan sakral, kemudian berubah makna menjadi simbol perlawanan terhadap kolonial.