Harimau disimbolkan sebagai kolonial Belanda. Sedangkan musuhnya harimau, umumnya hewan kerbau, disimbolkan sebagai orang Jawa.
Baca juga: Tradisi Sasapton: Pertunjukan dan Praktik Diplomasi Kultural Banten
Dalam terkaan awam, tentunya kerbau yang akan menjadi lawan harimau pasti mati. Namun dalam jalannya pertunjukan, harimau haruslah mati.
Untuk membuat harimau kalah dalam pertunjukan, maka orang Jawa akan membantu si lawan harimau dengan turut melukai harimau menggunakan senjatanya sampai harimau itu mati.
Ada tiga poin yang disampaikan dalam pertunjukan Rampogan yang telah mengalami pergeseran makna, yaitu sebagai hiburan tamu, ajang uji senjata, dan uji kemampuan prajurit.
Dalam perkembangannya, budaya yang mulanya dilaksanakan dalam wilayah keraton, menyebar luas di berbagai daerah luar keraton.
Baca juga: Warak Ngendog, Simbol Keragaman Budaya di Semarang
Semakin berkembangnya praktik Rampogan Macan, memiliki dampak yang buruk terhadap kelestarian Harimau Jawa tersebut.
Namun, maraknya pertunjukan tersebut juga memberi dampak bagi masyarakat Jawa yang hidup di pesisir Selatan, karena mengurangi pembunuh hewan ternak.
Tidak hanya mengurangi hama, banyaknya populasi harimau kala itu berimbas pula kepada munculnya banyak kasus penerkaman manusia oleh harimau.
Memasuki tahun 1905, pemerintah kolonial kala itu menyadari bahwasannya populasi Harimau Jawa telah berkurang akibat berbagai faktor, di antaranya pertunjukan Rampog Macan.
Kemudian secara resmi pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda melarang melaksanakan pertunjukan Rampog Macan.
Meskipun sudah dilarang, pertunjukan tidak serta merta berhenti, bahkan hingga tahun 1912, masih ditemukan pertunjukan Rampog Macan di Jawa.
Baca juga: Sejarah Pawai Kuda Kosong di Cianjur
Referensi: