KOMPAS.com – Konghucu merupakan salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia.
Di Indonesia, Konghucu baru diakui sebagai salah satu agama resmi, menyusul Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sebagai agama yang diakui, Konghucu di Indonesia memiliki pengakuan hukum dan hak-hak sama dengan agama-agama lain, dalam hal kebebasan beragama, beribadah, dan mempraktekkan keyakinan.
Namun, sebelum Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia, pemerintah Indonesia cenderung diskriminatif memperlakukan pemeluknya, khususnya pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Tentunya sikap diskriminatif terhadap umat Konghucu ini tidak dapat dipisahkan dengan status Tionghoa yang memiliki hubungan intens dengan paham komunis.
Perilaku diskriminatif terhadap umat Konghucu dapat diamati dalam berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru selama berkuasa.
Baca juga: Cerita Warga Keturunan China di Indonesia, Kenapa Jarang Pakai Nama Tionghoa Lagi
Pasca-peristiwa G30S, pemerintah Orde Baru mulai menjaga jarak dengan pemeluk agama Konghucu yang sebelumnya dilegalkan.
Puncaknya adalah ketika pemerintah Orde Baru mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Dengan diterbitkannya inpres tersebut, secara resmi Konghucu tidak lagi dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia.
Secara gamblangnya, keputusan itu mengatur umat Konghucu sebagai berikut:
Orang-orang Konghucu dilarang beribadah secara terang-terangan. Artinya, umat Konghucu harus beribadah secara tertutup.
Mereka juga dibatasi dalam melakukan upacara keagamaan, misalnya perayaan Imlek. Bahkan, umat Konghucu juga dipaksa untuk menutup rumah peribadatan.
Baca juga: Apa Itu Sembahyang Leluhur dalam Perayaan Imlek?
Umat Konghucu hanya diperbolehkan memilih mata pelajaran keagamaan di antara lima agama yang dilegalkan di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Hindu, Budha, dan Kristen.
Akibat dari tekanan ini, banyak umat Konghucu memilih berpindah agama. Namun, hal itu tentunya tidak dapat disederhanakan sepenuhnya akibat kebijakan Orde Baru.
Pemerintah juga mengatur masalag perkawinan umat Konghucu.